Minggu, 26 Oktober 2008

Ideologi

Ideologi Gerakan Kaum Perempuan
Update : 20 / Juli / 2006
Edisi 22 Th. 2-2005M/1426H
Diskursus persamaan hak antara laki-laki dan perempuan (gender) dalam agenda ideologi gerakan perempuan saat ini (feminisme kontemporer0) banyak memfokuskan pada persamaan hak, partisipasi perempuan dalam kerja, pendidikan, kebebasan seksual maupun hak reproduksi. Sejak abad 17 hingga 21 perjuangan feminis telah mencapai pasang surut dan mengalami perluasan wilayah tuntutan dan agenda perjuangan yang jauh lebih rumit bahkan menuntut satu studi khusus terhadap wacana ini. Dari kubu pro dan kontra feminisme, dari kritikan dan kecaman yang terlontar, Islam diantaranya yang paling mendapat banyak sorotan dalam kaitannya terhadap status dan aturan yang diberikan agama ini terhadap kaum perempuan. Hegemoni Islam terhadap perempuan muslim di negara-negara Islam terlihat jelas dalam dalam praktek keseharian di panggung kehidupan, dimana kaum perempuan mendapat kesulitan dalam bergaul, mengekpresikan kebebasan individunya, terkungkung oleh aturan yang sangat membatasi ruang kerja dan gerak dinamisnya, bahkan suaranyapun tidak berarti layaknya seorang warga negara atau anggota masyarakat atau hak seorang inddividu. Fenomena ini terlihat jelas di negara-negara ketiga (baca: berkembang) yang notabenenya adalah negara Islam. Namun benarkah demikian? atau justru Islam yang menginspirasikan munculnya gerakan feminisme masa lalu dan menyuarakan persamaan hak antar laki-laki dan perempuan yang hidup dalam kondisi kronis pada masa itu? Gerakan feminisme telah membuka mata banyak orang dan menyadarkan wanita bahwa memang selama ini penindasan terhadap kaum wanita di Indonesia terjadi di mana-mana. Disadari atau tidak, pemerintah pun terlibat di dalamnya. Ini terjadi karena perbedaan perlakuan terhadap kaum wanita sudah ditanam sejak usia dini dan dilakukan tanpa sadar oleh orang tua. Gerakan feminisme bukanlah suatu gerakan untuk menandingi ataupun mengganti kekuatan pria, tapi gerakan yang meminta kesetaraan antara pria dan wanita. Ibu Agnes dan Maya pun setuju tentang hal ini. Posisi kaum wanita sudah lebih baik ketika disahkannya UU KDRT (Kerukunan Dalam Rumah Tangga). Namun RUU Anti-Pornografi dan Pornoaksi yang sedang berusaha digolkan oleh Golkar, dipertimbangkan sebagai pemasungan kembali peran wanita di dalam masyarakat dan kali ini dengan memakai ajaran agama Islam sebagai pembenaran. Agama Islam datang untuk membebaskan roh manusia dari belenggu-belenggu duniawi yang salah-satunya adalah ketidakadilan. Tapi pada kenyataannya, ajaran Islam ditafsirkan secara tekstual untuk dijadikan pembenaran bagi penindasan pada kaum wanita. Ini sangat menyesatkan dan sangat disayangkan. Agnes Sri Purbasari, pengajar di Fakultas Ilmu Budaya Jurusan Filsafat UI, menjelaskan bahwa dalam melihat suatu persoalan kita harus tahu dari sudut pandang mana kita membahas. Dari sudut realitas, memang tidak bisa digeneralisasi bahwa semua wanita yang berprofesi sebagai PSK, kawin kontrak atau dipoligami adalah korban, tapi bila dari sudut analisis, diskusi kali bertujuan mengkaitkan putusnya hubungan kaum wanita dengan nation-state (negara) berakibat dengan usaha kaum wanita di Indonesia untuk mengatasi keterpurukan ekonomi dengan mencoreng nama Indonesia di mata dunia internasional. Bahwa Feminisme bukan merupakan gerakan perempuan liar makin jelas ketika Anne menjelaskan setiap pandangan aliran feminisme. Feminisme liberal menekankan hak-hak sipil, memandang hak kaum perempuan bebas mengambil keputusan atas seksualitasnya dan hak reproduksi mereka. Feminisme kultural disebut pula feminisme reformatif dan feminisme romantis. Feminisme kultural mengaitkan nilai kehidupan dengan nilai tradisional perempuan, seperti bela rasa, pengasuhan, pengelolaan lingkungan hidup, dan nilai kemanusiaan yang menekankan moral. Feminisme radikal menekankan penghapusan merajalelanya dominasi laki-laki terhadap kehidupan. Dimulai dari dominasi laki-laki terhadap perempuan, kemudian muncul berbagai dominasi berbasis kekuasaan. Feminisme sosialis menekankan dominasi laki-laki kapitalis berkulit putih dalam perjuangan keadilan ekonomi global. Penjelasan Anne aliran feminisme dari gelombang pertama sampai gelombang ketiga makin jelas ketika dikaitkan dengan gerakan moral dari feminisme gelombang ke tiga, spiritual feminisme dan ekofeminisme. Sementara feminisme dalam filsafat diutarakan Dr. Gadis Arivia dalam buku Filsafat Berperspektif Feminis. Dia mengungkapkan beberapa contoh pandangan laki-laki filsuf abad modern tentang perempuan, yang berhulu pada pemikiran-pemikiran filsuf sebelumnya, dapat ditandai dengan maraknya usaha menampilkan ulang representasi perempuan filsuf yang berbicara bukan saja tentang perempuan, tetapi pemikirannya tentang filsafat. Pada tahap ini, ada semacam usaha untuk menunjukkan suara-suara feminis atas pembahasan filsafat. Namun, ini saja masih belum cukup. Maka muncul bukan saja feminisme dalam filsafat, tetapi usaha untuk mengonstruksi filsafat agar dapat menghasilkan filsafat yang feminis. Gadis mengatakan bahwa munculnya diskriminasi yang merendahkan kaum perempuan beserta seluruh pengalaman dan pemikirannya berakar sekitar sepuluh ribu tahun lalu, sejak millenium keempat Sebelum Masehi. Pada saat itu laki-laki mulai membangun apa yang dinamakan patriark-supremasi laki-laki. Dalam karyanya "A Discourse on Political Economy" (1755), filsuf Jean Jacques Rousseau secara konsisten memandang perempuan sebagai makhluk inferior dan tersubordinasi. Tujuan hidup mereka hanya untuk melayani laki-laki. Karena itu, mereka tidak mungkin atau tidak dapat menjadi pemimpin. Arthur Schoupenhauer yang karyanya "On the Freedom of the Human Will" (1839) mendapat penghormatan tertinggi dari Masyarakat Ilmiah Kerajaan Swedia, bahkan sangat populer dan memiliki banyak pengikut perempuan. Padahal oleh para feminis abad ke-20, ia dianggap sebagai misoginis klasik. Schoupenhauer mengombinasikan hampir semua aspek negatif perempuan dari pemikir-pemikir terdahulu, dan selanjutnya menambahkan ide-idenya sendiri tentang perempuan, yang tentu saja semakin memperkuat pemikiran misoginis yang terdahulu. Pemikiran-pemikiran itu, dengan caranya sendiri, merembes ke dalam seluruh ajaran dan sistem nilai masyarakat di seluruh dunia, yang melahirkan feodalisme dan kolonialisme, khususnya di dalam cara berpikir. Pemikiran-pemikiran seperti itulah, kata Gadis, yang menyebabkan kekerasan terhadap perempuan menjadi bukan sesuatu yang aneh. Institusi mana pun menoleransi perlakuan misoginis (kebencian terhadap perempuan), dalam banyak kasus bahkan mendukungnya. Sikap misoginis juga mengemuka dalam bahasa, yang digunakan dengan ringannya, mulai dari mereka yang menguasai senjata sampai pekerja seni, dan kemudian diadaptasi menjadi sesuatu yang biasa dalam kehidupan sehari-hari. Sementara Dr. Haryatmoko, dosen Pascasarjana Filsafat Universitas Indonesia mengatakan, bahwa dominasi (pemikiran) laki-laki melalui wacana lebih berat karena korban, secara sadar atau tidak sadar ikut menyetujui kekerasan simbolis yang menindas dirinya. Seorang artis yang akan menikah, misalnya, kata Haryatmoko memberi contoh, dengan ringan mengatakan, "suami saya mengizinkan saya untuk terus menekuni karier sebagai artis" dan sebagian besar pembacanya setuju dengan pernyataan tersebut, bahkan menganggap artis itu hebat. Ini semakin mendukung kekerasan simbolis tersebut. Adapun Myra Diasi MA, feminis, aktivis, dan anggota Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengatakan bahwa analisis filsafat para feminis, seperti Catherina Cockburn, Mary Wollstonecraft dan Rosemary Putnam-Tong, Allison Jaggar dan Marilyn French terasa lebih longgar dibanding analisis pemikiran para laki-laki filsuf mengenai perempuan. "Telaah filosofis feminismenya terasa lebih longgar, sementara di bagian depan, sangat ketat," ujarnya. Dominasi pemikiran laki-laki dalam wacana membuat pentingnya konstruksi ulang terhadap banyak hal. Nurcholish Madjid menjelaskan kemungkinan mendekonstruksi berbagai hal, mulai dari simbol-simbol identitas dalam berpakaian, poligami, hak waris yang hampir semuanya berakar pada interpretasi teks. Sedangkan Nori Andriyani yang meneropong hubungan antara filsafat dengan feminisme memandang teori-teori feminisme bersifat membumi karena ditarik dari situasi sehari-hari dalam hubungan perempuan dan laki-laki di dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Ia memaparkan bahwa pengalaman ketertindasan perempuan, khususnya di Indonesia, tak bisa hanya dianalisis dengan satu atau dua teori. Manajer Program Yayasan Jurnal Perempuan, Adriana Venny memaparkan bagaimana teori-teori feminisme menjelaskan mengenai berbagai persoalan yang berkembang. Partisipasi politik perempuan, menurut Venny, dapat dianalisis dengan teori Feminisme Liberal. Persoalan perempuan buruh yang kerap mengalami diskriminasi upah dapat dijabarkan melalui konsep Feminisme Sosialis-Marxis, sedangkan masalah pemerkosaan, termasuk pemerkosaan massal, dapat dijabarkan lewat penjelasan Feminisme Radikal. Untuk menanggulangi kasus korban trauma, dapat dilakukan konseling dengan analisis Feminisme Psikoanalisa. "Berbicara tentang patriakisme, maka feminisme, dalam perkembangannya kemudian sibuk mendefinisikan semua hal, termasuk apakah seorang laki-laki layak mengaku dirinya feminis," sambung Venny. "Tentu saja dari sisi aliran Feminisme Radikal, gagasan ini hampir mustahil karena pendapat bahwa otak di belakang sistem masyarakat yang patriarki adalah laki-laki," kata dia. Namun, hal ini berlawanan dengan penjelasan feminisme gelombang ketiga, yang percaya bahwa laki-laki bisa menjadi feminis sebab feminisme tak bisa hanya dilihat dari tampakan penampilan, namun apa yang ada di dalam "mind". Karena itu, menurut Venny, kelompok feminis tidak identik dengan yang berselendang atau bersarung. "Menjadi feminis, sekali lagi, adalah apa yang ada dalam gagasan-gagasannya," kata Venny.

Islam dan Gerakan Perempuan
Berdiskusi tema Islam dan gerakan perempuan (feminisme) tidak bisa lepas dari sudut pandang al-Qur’an sebagai buku petunjuk samawi yang secara komprehensif dan lugas memaparkan hak asasi perempuan dan laki-laki yang sama. Hak itu meliputi hak dalam beribadah, keyakinan, pendidikan, potensi spiritual, hak sebagai manusia, dan eksistensi menyeluruh pada hampir semua sektor kehidupan. Di antara 114 surat yang terkandung di dalamnya terdapat satu surat yang didedikasikan untuk perempuan secara khusus memuat dengan lengkap hak asasi perempuan dan aturan-aturan yang mengatur bagaimana seharusnya perempuan berlaku di dalam lembaga pernikahan, keluarga dan sektor kehidupan. Surat ini dikenal dengan surat An-nisa’, dan tidak satupun surat secara khusus ditujukan kepada kaum laki-laki. Lebih jauh lagi, Islam datang sebagai revolusi yang mengeliminasi diskriminasi kaum Jahiliyah atas perempuan dengan pemberian hak warisan, menegaskan persamaan status dan hak dengan laki-laki, pelarangan nikah tanpa jaminan hukum bagi perempuan dan mengeluarkan aturan pernikahan yang mengangkat derajat perempuan masa itu dan perceraian yang manusiawi. Diskursus tentang posisi perempuan dalam Islam mendapat perhatian serius. Term perempuan (an-nisa') dalam al-Qur'an dipergunakan sebanyak 57 kali, sama dengan kata "ar-rojul" (laki-laki). Perimbangan ini selintas memberikan suatu indikasi bahwa antara kedua jenis kelamin tersebut –sungguhpun memiliki perbedaan- diperlakukan dan diperhatikan secara berimbang oleh Islam. Kesetaran ini hingga berkali-kali Allah SWT menyebutkan keduanya secara berdampingan dan berpasang-pasangan. Bahkan di beberapa hadits, Rasulullah saw justru sangat memuliakan dan menghormati perempuan. Misalnya pada saat baginda Nabi ditanya oleh seorang sahabat, "Siapa di antara manusia yang paling utama untuk dihormati? Jawab Nabi. 'ibumu', kemudian siapa lagi? Jawab Nabi 'ibumu' kemudian siapu lagi'? Jawab Nabi `ibumu'. Kemudian siapa lagi? Jawab Nabi 'bapakmu'."' (H.R. Bukhori dan Muslim). Dengan demikian, dalam Islam, eksistensi perempuan benar-benar mendapat tempat yang mulia. Perempuan adalah mitra sejajar laki-laki, tidak seperti dituduhkan oleh sementara pihak, karena sesungguhnya Islam tidak menempatkan perempuan sebagai unsur subordinat dalam pranata sosial. Kehadiran Islam justru melenyapkan diskriminasi perempaun-laki-laki. Sejarah mencatat bahwa sebelum Islam datang, posisi perempuan hanyalah sebagai obyek, bahkan sering dijadikan komoditas perbudakan dan seksual. Asumsi yang berkembang saat itu memandang perempuan sebagai penghalang kemajuan, terutama di kala peperangan. Karenanya lebih baik dikubur hidup-¬hidup bila lahir bayi perempuan. Asumsi ini diluruskan Allah SWT dalam Al-Qur'an surat al-Ahzab ayat 35. Persoalan yang mucul kemudian adalah, sungguhpun Islam telah mendasari penyadaran intergratif tentang eksistensi perempuan, namun realitas saat ini di berbagai negara yang mayoritas muslim justru menampilkan pandangan yang kontradiktif. Pemasungan hak-hak perempuan dalam berbagai sektor kehidupan, dengan dalih ajaran agama, justru sering didengung-dengungkan. Perempuan tidak berhak menjadi pemimpin, tidak boleh menduduki posisi-posisi strategis, haram menuntut hak-hak sosial politik dan lain sebagainya. Jelas hal ini suatu distorsi terhadap ajaran Islam. Maka bergantilah era represif masa pra-Islam berlalu dengan kedatangan agama nabi Muhammad saw. yang mengembalikan perempuan sebagai manusia utuh setelah mengalami hidup dalam kondisi yang mengenaskan tanpa kredibilitas apapun dan hanya sebagai komoditi tanpa nilai. Penghargaan Islam atas eksistensi perempuan ditauladankan dalam sisi-sisi kehidupan nabi Muhammad saw. terhadap istri-istri beliau, anak maupuan hubungan beliau dengan perempuan di masyarakatnya. Kondisi dinamis perempuan masa risalah tercermin dalam kajian-kajian yang dipimpin langsung Rasulullah yang melibatkan para sahabat dan perempuan dalam satu majlis. Terlihat jelas bagaimana perempuan masa itu mendapatkan hak untuk menimba ilmu, mengkritik, bersuara, berpendapat dan atas permintaan muslimah sendiri meminta Rasul satu majlis terpisah untuk mendapat kesempatan lebih banyak berdialog dan berdiskusi dengan Rasulullah. Terlihat juga dari geliat aktifitas perempuan sahabat rasullullah dalam panggung bisnis, politik, pendidikan, keagamaan dan sosial, dan ikut serta dalam peperangan dengan sektor yang mereka mampu melakukan. Sirah kehidupan istri-istri Rasul pun mengindikasikan aktifitas aktif dimana Ummul mukminin Khadijah ra. adalah salah satu kampiun bisnis pada masa itu, Aisyah ra. adalah perawi hadis dan banyak memberikan fatwa karena kecerdasannya. Bahkan hawa feminispun telah terdengar dari suara-suara protes dan pertanyaan yang diajukan Ummu Salamah ra. atas eksistensi perempuan. Dari sini terlihat bahwa era risalah telah mengubur masa penetrasi kaum laki-laki atas wanita dan mengganti dengan masa yang lebih segar bagi perjalanan hidup perempuan selanjutnya. Sejarah awal Islam telah memaparkan kenyatan bahwa Islam justru mendorong dan mengangkat kemuliaan perempuan yang belum pernah diberikan sebelumnya oleh suku bangsa manapun sebelumnya dan peradaban tua sebelum Islam. Meski demikian hal di atas tidak membebaskan Islam dari stereotip Barat tentang perlakuan institusi ini terhadap perempuan. Dimana perempuan dikebiri hak asasinya untuk maju dan berkembang, melakukan aktifitas di luar rumah, mengaktualisasikan kemampuannya dan terhalangi oleh aturan-aturan kaku Islam yang justru mendorong perempuan untuk terjerat dalam mata rantai tugas-tugas domistik dari dapur, sumur, kasur, mengurus anak dan hal-hal yang jauh dari penghargaan. Terjadinya kasus tindak kekerasan yang minimpa kaum wanita, tidak adanya perlindungan kerja dan kecilnya peluang pertisipasi perempuan di sektor politik, pelayanan publik dan fasilitas khusus untuk perempuan dalam pendidikan, kesehatan, dan sosial. Ditambah lagi dengan himpitan kenyataan nasib kaum perempuan di banyak negara yang secara representatif mewakili dunia Islam seperti Saudi Arabia, Sudan, Pakistan, Bangladesh, Afghanistan, Iran dan lain sebagainya. Stereotip ini terus menguat dengan penerbitan-penerbitan novel dan kisah tragis perempuan di negara-negara tersebut yang diperlakukan muslim dengan semena-mena yang menjamur di pasaran seperti "The Princess, Daughter of Arabia, Beyond The Veil, Without Mercy" dan masih banyak lagi. Terhadap hal ini, telah terjadi kerancuan dalam memandang Islam itu sendiri karena pada saat diskursus perempuan dilontarkan maka masalah yang munculpun bermuara pada hal-hal esensial berkaitan dengan perempuan yaitu pernikahan, keluarga, perceraian, pakaian, hak waris, hak persaksian di pengadilan, dan pendidikan. Maka kecenderungan untuk menuju titik krusial tersebut harus dispesifikasikan pada tatanan Islam dan dari mana perpektif yang dibawa dalam melihat bangunan tersebut. Apakah Islam dilihat secara holistik atau sekedar parsial dengan mengedepankan fenomena yang terjadi di negara-negara Islam, atau dengan Islam sebagai cara pandang hidup, atau Islam dengan kualitas implementasi risalah yang belum sempurna. Hingga yang terjadi bukan justifikasi pendzaliman Islam atas perempuan dengan menilik kenyataan dominasi laki-laki sebagaimana terjadi di negara-negara Islam tersebut. Dan pada perjalanan selanjutnya, terhadap aturan dan status yang diberikan Islam kepada perempuan terdapat fungsi dan ekses-ekses yang positif di masyarakat dimana poin-poin di atas dalam prespektif Islam mempunyai tafsiran yang tentu perlu kejelian dalam mengartikan dan meginterpretasikan hal-hal yang tidak sesuai dengan nilai matematis suatu nominal. Dus, Barat selayaknya lebih dalam mengkaji bangunan Islam dan menjauhkan tendensi negatif dalam memandang aturan ini, apalagi jika tesis-tesis dan kritikan tersebut berangkat dari ketidakfahaman dan keengganan mencari kebenaran. Tapi umat Islam pun tidak bisa menutup mata bahwa kenyataan yang ada akan melahirkan stereotip-stereotip negatif, karena amat berat jika keagungan aturan tidak dibarengi dengan implementasi yang riil dari para penganutnya. Dan bila yang terjadi adalah kesalahan dalam membaca bahasa agama, dengan menginterpretasikan suatu aturan secara subjektif, menghilangkan pesan yang dibawa dan justru menyembunyikan keotentikan pesan dengan manipulasi ajaran diganti dengan kultur-kultur yang merugikan kaum perempuan maka umat Islam pun perlu meri-orientasikan langkah-langkahnya tanpa mengedepankan sikap reaksioner menghalau perspektif negatif Barat terhadap Islam. Namun, justru mereintrepretasi dan mengakui dengan terbuka bahwa umat Islam belum mampu membaca pesan agama dan mempunyai komitmen yang utuh terhadap ajarannya, yang terbukti dengan mencampuradukan kultur hegemoni atas perempuan dengan meminjam nama agama. Telah dipaparkan diatas bagaimana sejarah Islam dan aturan yang dibawa ingin memberikan hak dan kemerdekaan perempuan, mendorong perempuan untuk maju, berkarya mendapat perlindungan. Tentu hal ini tidak berbeda dengan deklarasi dan tuntutan yang diajukan feminisme atau pejuang hak asasi perempuan di berbagai belahan manapun dan masa kapanpun jika bentuk tuntutan itu adalah persamaan hak yang mengedepankan pengertian dan kesadaran bahwa perempuan dan laki-laki adalah sama hak dan kewajibannya, hanya seksis, biologis dan rerpoduktiflah yang membedakan keduanya. Bila demikian tinggal bagaimana umat Islam benar-benar ingin tampil elegan dan menepis stereotip yang ada dengan sikap proaktif atau tidak? Lalu mengapa muslimah enggan maju? Masih adakah kungkungan psikologis dan kultur yang menghalangi? Bukankah Islam telah menancapkan kakinya sebagai suporter terbesar dan backing gerakan feminisme dari era risalah hingga masa kini. Tentunya, kita perlu upaya dan karya riil terhadap permasalahan ini Menurut Asghar Ali Engineer, seorang pemikir dan teolog Islam dari India, Al-Qur'an secara normatif menegaskan konsep kesetaraan status laki-laki dan perempuan (Yunahar llyas, 1997: 3). Konsep kesetaraan itu mengisyaratkan dua hal. Pertama, dalam pengertiannya yang umum, ini berarti menerima martabat kedua jenis kelamin dalam ukuran yang sama. Kedua, orang harus mangetahui bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai hak-hak yang setara dalam biding sosial, ekonomi dan politik. Sementara menurut Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, Meutia Hatta Swasono, banyak peluang perempuan untuk maju sering terkendala dengan alasan ajaran agama. Hal itu terlihat dari masih banyaknya praktik-praktik kekerasan atau pelecehan yang dilakukan oleh pihak-pihak yang merasa lebih kuat dan lebih berkuasa kepada pihak-pihak yang lemah, khususnya kaum perempuan dan anak-anak. "Walau ajaran agama mana pun telah menempatkan kaum perempuan sebagai mahluk mulia, namun dalam kenyataannya tidak semua umat beragama mengamalkan ajaran agamanya dengan benar dan seharusnya," kata Meutia dalam peluncuran buku "Kesetaraan dan Keadilan Gender dalam Perspektif Islam" di Jakarta, Senin (11/4). Meutia mengutip satu paragraf pendapat KH Husein Muhammad -seorang kiai yang sangat peka dalam masalah gender- yang dengan gamblang menjelaskan persoalan agama yang dikaitkan dengan ketidakadilan gender. Yakni, soal keharusan menerapkan syariat Islam yang pernah berjalan indah "di masa lalu di sana". "Menurut Kiai Husein Muhammad, problem kekinian dijawab dengan problem masa lalu di sana, meski tidak pernah memiliki pengetahuan yang cukup tentang apa yang berlangsung pada syariat Islam masa lalu di sana itu. Bahkan, tanpa pernah jelas, apakah syariat Islam masa lalu di sana yang indah itu benar-benar agama atau sesungguhnya budaya yang mendapat legitimisasi nilai-nilai agama," kata Meutia. Pada sisi lain, Menneg PP menambahkan, mencari jawaban dari "masa lalu di sana" untuk "masa kini di sini" juga tidak terlalu mudah karena "masa lalu di sana" ternyata juga mempunyai warna-warni. Kesulitan itu bukan saja dalam mencari produk-produknya, melainkan juga paradigma-paradigmanya yang tidak tunggal. Melihat kenyataan seperti itu, Meutia menilai perlunya berbagai masukan seputar kesetaraan gender yang dipandang dari sudut agama, agar dapat memberi kejelasan tentang kedudukan dan peran perempuan sebagai warga Indonesia yang mempunyai kedudukan sama dengan kaum laki-laki di mata hukum dan pemerintahan. "Salah satunya melalui buku yang diterbitkan oleh tim dari Kantor Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Dr Noryamin Aini, pakar gender dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta," katanya. Buku tersebut merupakan hasil review dari buku materi pokok kesetaraan dan keadilan gender edisi kedua tahun 2001 yang diharapkan dapat memberikan masukan terhadap pihak yang peduli pada upaya pemberdayaan perempuan di Indonesia. Noryamin menilai, pernyataan negatif bahwa agama menghalangi gerak kaum perempuan bisa terjadi terutama disebabkan masih kuatnya adat istiadat, tradisi dan nilai-nilai sosial budaya yang bersifat patriarkis. Budaya patriarki adalah sistem nilai dan cara pandang hidup yang menempatkan kaum laki-laki dan perempuan pada kedudukan dan peran yang berbeda. Formalisasi syariat Islam juga telah menjebak keluasan ajaran Islam yang mengajak pemeluknya untuk lebih arif dalam bersikap kepada kaum perempuan. Ajakan untuk memahami relasi gender bukan satu refleksi dari gugatan, apalagi pemberontakan kaum perempuan terhadap laki-laki. "Karena itu, tuduhan miring bahwa institusi agama, apalagi ajaran dasarnya, tidak berpihak pada kaum perempuan harus diluruskan," katanya menegaskan. Karena hal itu, menurut Noryamin Aini, merupakan satu bentuk penistaan agama. Tidak ada agama, terutama Islam, yang mendiskreditkan apalagi membenci kaum perempuan. "Islam sangat menghormati kemartabatan serta kehormatan kaum perempuan. Alhasil, segala bentuk pencitraan dan perlakuan negatif terhadap kaum perempuan pasti merupakan penyimpangan dari pesan dasar Islam," ucap Nooryamin. Ditambahkannya, Islam justru menawarkan prinsip-prinsip ajaran dasar yang sangat potensial untuk meningkatkan kualitas keadilan dan kesetaraan gender. Keadilan dan kesetaraan di depan Allah merupakan ajaran dasar Islam dan menjadi dambaan setiap orang. "Namun, fakta di lapangan memang memperlihatkan bahwa keadilan dan kesetaraan gender itu belum sepenuhnya dapat diwujudkan dalam kehidupan keseharian," kata pria yang menempuh pendidikan doktoralnya di Australia ini.

Wacana

Perempuan Dalam Kancah Politik (Tinjauan Islam Terhadap Peran Politik Perempuan)
Update : 20 / Juli / 2006
Edisi 22 Th. 2-2005M/1426H
Dalam perdebatan mengenai kiprah perempuan dalam dunia politik setidaknya ada dua alasan yang sering dikemukakan sebagai larangan atas keterlibatan perempuan dalam politik, yaitu: (1) Ayat "ar-rijal qowwamuna 'ala-annisa'" (lelaki adalah pemimpin bagi kaum wanita) (QS. Al-Nisa' :34); dan (2) Hadits yang berbunyi "Laa yaflaha qoum walau amrohum imro 'ah" (tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusannya pada perempuan) Permasalahan pertama, yaitu tentang ayat "ar-rijal qowwamuna 'ala-annisa" tidak akan dibahas di sisi secara panjang lebar. Hal ini karena nash itu tidak banyak dipermasalahkan -meskipun tetap ada yang menganggap ayat ini sebagai ayat yang kontroversial. Kata "ar-rijal" dalam ayat di atas bukan berarti lelaki secara umum, tetapi adalah suami, karena konsiderans perintah tersebut seperti ditegaskan pada lanjutan ayat adalah karena mereka (para suami) menafkahkan sebagian harta untuk istri-istri mereka. Seandainya yang dimaksud dengan "lelaki" adalah kaum pria secara umum, tentu konsiderannya tidak demikian. Terlebih lagi lanjutan ayat tersebut secara jelas berbicara tentang para istri dan kehidupan rumah-tangga (M. Quraish Shihab, 2000: 314). Sedangkan menurut Asad, seorang mufasir kontemporer, perkataan "quwwam" berarti seorang yang bertanggung jawab untuk memelihara barang maupun orang. Kalimat "quwwam 'ala mar'ihi" bermakna "dia bertanggung jawab mengayomi seorang perempuan". Jadi laki-laki bertanggung jawab mengayomi perempuan yang merupakan bagian dari tanggung jawabnya (Dadang S. Anshori dkk. (ed.), 1997 : 110). Dengan demikian tidak ada pihak yang superior dan pihak yang inferior . Adapun yang akan dibahas secara lebih panjang adalah persoalan yang kedua yaitu hadits tentang kepemimpinan perempuan.

Kontroversi Kepemimpinan Perempuan
Berbicara seputar kontroversi peran perempuan dalam politik, tidak lepas dari persoalan kontroversi kepemimpinan perempuan. Hal ini karena pada dasarnya kepemimpinan perempuan merupakan puncak dari aktifitas politik perempuan. Secara lebih lengkap hadits tersebut di atas berbunyi: "Tidak akan berhasil suatu bangsa yang menyerahkan urusannya pada wanita" (HR Bukhari). (Abu Abdillah Muhammad al-Bukhari, Shohih al-Bukhari jus III, Darl al-Fikr, 1995, Him 89) Oleh sementara pihak hadits ini dipahami sebagai isyarat bahwa wanita tidak boleh manjadi pemimpin dalam urusan yang mutlak seperti kepala negara. Karena itu al-Khattabi misalnya, mengatakan bahwa seorang wanita tidak boleh menjadi khalifah. Demikian juga Al-Shaukani dalam menafsirkan hadits ini berkata bahwa wanita tidak termasuk kategori dalam kepemimpinan, sehingga tidak boleh menjadi kepala negara. Sementara itu para ulama lainnya seperti Ibnu Hazm, Al-Ghozali Kamal Ibn abi Syarif dan Kammal lbn Abi Hammam, meskipun dengan alasan yang berbeda, juga mensyaratkan laki-laki sebagai kepala negara. Bahkan Sayyid Sabiq menginformasikan tentang kesepakatan ulama (fuqaha') mengenai syarat laki-laki bagi kepala negara sebagaimana syarat sebagai seorang qadi, karena didasarkan pada hadits di atas. (Muhibbin, 1996: 75). Abu A'la Al-Maududi dalam buku "Khilafah dan Kerajaan" juga mensyaratkan pemimpin harus dari laki-laki (Abul Ala Al-Maududi, 1990: 317). Sedangkan menurut Al-Ghozali persyaratan laki-¬laki bagi seorang kepala negara didukung oleh hadits Nabi: "Para pemimpin harus dari suku Quraisy, mempunya kekuasan nyata (an-najdat), memiliki kemampuan wara' dan berilmu." (Jeje Abdul Rozak, 1999: 173). Barangkali yang dimaksud "memiliki kemampuan" dalam hal ini oleh Al-¬Ghozali ditafsirkan hanya dimiliki oleh laki-laki. Namun sebagaimana memahami hadits tentang syarat kesukuan Quraisy, dalam memahami hadits tentang kepemimpinan perempuan di atas juga harus dilihat latar belakang munculnya hadits tersebut, di samping keberadaan masyarakat pada saat itu. Oleh karena itu dalam memahami dan mengkaji hadits ini mutlak diperlukan informasi yang cukup mengenai latar belakang kejadiannya. Secara historis, latar belakang pernyataan Nabi itu sebenarnya merupakan reaksi Beliau terhadap sikap raja Kirsa (Persia) yang menyobek surat Nabi yang dikirim kepadanya secara emosional. la menolak dakwah Nabi tersebut. Mendengar berita itu kemudian Nabi bersabda sebagaimana hadits di atas. Wanita yang dimaksud dalam hadits tersebut adalah Buran Bintu Sirawaih lbn Kisra lbn Barwais yang berambisi menjadi raja menggantikan ayahnya (Kisah selengkapnya lihat Aunur Rofiq, "Kepemimpinan Wanita, Sebuah Wacana Dalam Teks Islam", IDEA edisi 15/V/2001, hal. 15). Setelah kita memahami betul "asbab al-wurud" hadits di atas, maka kata kata Nabi yang bernada menyudutkan dan mendiskriminasikan perempuan tersebut dapat dipahami. Demikian juga dapat dipahami dari sudut pandang keberadaan masyarakat pada saat itu, yakni kenyataan mengenai kedudukan wanita pada saat itu yang tidak atau belum memungkinkan untuk memimpin sebuah negara. Sehinggga juga amat wajar apabila Nabi berpendapat bahwa seorang wanita tidak akan mampu untuk memimpin negara -walaupun Nabi saw mengetahui bahwa jauh sebelum itu telah ada suatu masa di mana seorang wanita dapat memangku jabatan sebagai kepala negara, seperti Ratu Bilqis yang diceritakan oleh al-Qur'an. Dalam hal ini harus diingat bahwa sabda Nabi saw dalam masalah ini bukan dalam kapasitas beliau sebagai seorang Nabi dan Rasul yang pembicaraanya pasti benar dan dibimbing oleh wahyu, tetapi diucapkannya dalam kapasitas beliau sebagai manusia biasa yang terbatas pada pengetahuan dan pengalaman serta keberadaanya pada waktu itu. Pemahaman seperti ini didasarkan pada sebuah riwayat: "Ketiku Aku perintahkan kepadamu sesuatu tentang agamamu, maka ikutilah, tetapi jika aku perintahkan sesuatu dari pendapatku maka ketahuilah bahwa sesungguhnva mungkin salah sehinggga tidak wajib diikuti." (Muhibbin, 1996:77). Dengan demikian hadits tentang pernyataan Nabi dalam menanggapi pengangkatan putri Kisra sebagai pemimpin Persi tersebut sama sekali tidak membicarakan syarat kepala negara, namun hanya merupakan informasi mengenai pendapat Nabi yang boleh jadi merupakan do'a agar pimpinan negeri Persia tersebut tidak sukses dan jaya karena menghina dan memusuhi Islam, sebagaimana sikap dan tindakan yang pernah Beliau tunjukkan pada saat menerima kabar tentang disobeknya surat Beliau. Di samping itu kalau hadits tersebut dipahami sebagai pesan dan ketentuan dari Nabi mengenai syarat kepala negara, maka akan terasa janggal, karena peristiwa yang ditunjukkan pada hadits tersebut tidak terjadi di dunia Islam. Tidak mungkin Nabi menentukan suatu syarat bagi kepala negara muslim dengan merujuk pada fakta yang terjadi di negara non-muslim. Dan kalau hadits tersebut dipaksakan sebagai syarat bagi kepala negara, di samping tidak rasional –karena Nabi mengintervensi urusan politik negara non-muslim, juga tidak faktual. Artinya penetapan syarat kepala negara harus laki-laki, dan kalau tidak demikian maka negara tidak sukses, ternyata bertentangan dengan fakta yang ada. Negara-negara seperti Inggris, Pakistan, India, dan lain-lain pernah dipimpin oleh seorang wanita dan ternyata meraih kesuksesan. Bahkan dalam al-Qur'an pun dikisahkan tentang adanya wanita yang memimpin negara dan sukses, yaitu Ratu Bilgis di negeri Saba' (Ibid., hal.78). Ayat yang mengisahkan hal tersebut adalah: "Sesungguhnya Aku (Hud-hud) menjumpai seorang wanita (Ratu Bilqis) yang memerintahkan mereka (rakyat Saba') dan dia dianugerahi segala sesuutu sertu mempunyai singgasana yang besar." (QS. An-Naml: 23). Sementara itu dalam menanggapi hadits di atas, Prof. Dr. Nasruddin Baidan berpendapat bahwa terjemahan sebagaimana dikemukakan di atas dapat menimbulkan anggapan negatif terhadap hadis Nabi, sebab dapat memberikan pemahaman yang kontradiktif antara hadits Nabi di satu pihak dengan realitas kehidupan umat manusia di pihak lain (Nasruddin Baidan, 1999: 40). Dr. Nasruddin Baidan dalam memahami hadits tentang kepemimpinan wanita di atas lebih menggunakan pendekatan teks (lafal) bukan "ashab al-wurud". Lafal yang dipakai pada hadits itu adalah lafal umum, tidak membicarakan secara khusus tentang kepala negara. Kata "imro'ah" dan "qaum" dalam hadits itu adalah lafal "nakirah". Itu berarti lafal "qaum" dan "mar'ah" tersebut berkonotasi umum, yaitu kaum wanita siapa saja dan di mana saja, tidak tertentu untuk orang Persia saja. Demikian pula kata "amrahum" dalam hadis itu, juga berkonotasi umum, tidak khusus tentang urusan pemerintahan, tapi mencakup semua urusan yang berhubungan dengan bangsa atau orang yang dipimpin. Keumuman ini tampak dari pemakaian lafal "mufrad" (tunggal): "amrun", yang diidhofahkan kepada lafal sesudahnya, "hum". Menurut kaidah, kata tunggal bila diidhafahkan kepada "isim ma'rifat", maka ia mengandung konotasi umum (Ibid., hal. 41) Setelah memperhatikan kaidah itu kemudian diterapkan pada hadits Nabi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud Nabi "Suatu bangsa tak pernah memperoleh kesuksesan jika semua urusan bungsa itu diserahkan (sepenuhnya kebijakan) wanita sendiri (tanpa melibatkun kaum pria)", ialah jika semua urusan pemerintahan itu ditangani oleh wanita sendiri, sehingga semua bidang dan bagian di dalamnya diurus oleh wanita dan tak ada laki-laki yang diikutsertakan di dalam semua urusan tersebut. Jika demikian halnya, maka masuk akal sekali jika mereka tidak akan beruntung karena kaum wanita memang mempunyai keterbatasan manusiawi, baik secara fisik maupun psikis.

Hak-Hak Perempuan Dalam Politik
Salah satu ayat yang seringkali dikemukakan oleh para pemikir Islam dalam kaitannya dengan hak-hak politik perempuan adalah yang tertera dalam surat At-Taubah ayat 71 (M. Quraish Shihab, 1998: 273): "Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka adalah auliya' bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh untuk mengerjakan yang ma'ruf, mencegah yang munkar, mendirikan shalat, menunaikun zakat dan mereka taat kepada Allah dan Rasulnya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Bijaksana." Secara umum ayat tersebut dipahami sebagai gambaran tentang kewajiban melakukan kerjasama antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai bidang kehidupan yang dilukiskan dengan kalimat menyuruh mengerjakan yang ma''ruf dan mencegah yang munkar. Kata "auliya'” dalam pengertiannya mencakup kerjasama, bantuan dan penguasaan, sedang pengertian yang dikandung oleh "menyuruh mengerjakan yang ma'ruf" mencakup segala segi kehidupan atau perbaikan kehidupan, termasuk memberikan kritik kepada penguasa. Dengan demikian setiap laki-laki dan perempuan hendaknya mampu mengikuti perkembangan masyarakat agar masing-masing mereka mampu melihat dan memberi saran (nasihat) dalam berbagai bidang kehidupan (Ibid.). Keikutsertaan perempuan bersama dengan laki-laki dalam kandungan ayat di atas tidak dapat disangkal, sebagaimana pula tidak dapat dipisahkan kepentingan perempuan dari kandungan sabda Nabi saw: "Barang siapa yang tidak memperhatikan kepentingan (urusun) kaum muslim, maka tidak termasuk golongan mereka." Di sisi lain, al-Qur'an mengajak umatnya (laki-laki dan perempuan) untuk bermusyawarah sebagaimana ayat al-Qur'an: "Urusan mereka (selalu) diputuskun dengan musyawarah." (QS. 42:38). Ayat ini dijadikan pula sebagai dasar oleh banyak ulama untuk membuktikan adanya hak berpolitik bagi setiap laki-laki dan perempuan. Syura (musyawarah) telah menjadi satu prinsip pengelolaan bidang-bidang kehidupan bersama menurut al-Qur'an, termasuk kehidupan politik, dalam arti setiap warga masyarakat dalam kehidupan bersamanya dituntut untuk senantiasa mengadakan musyawarah. Atas dasar ini, dapat dikatakan bahwa setiap laki-laki maupun perempuan memiliki hak tersebut, karena tidak ditemukan satu ketentuan agama pun yang dapat dipahami sebagai melarang keterlibatan perempuan dalam bidang kehidupan bermasyarakat, termasuk dalam bidang politik. Bahkan sebaliknya, sejarah Islam menunjukkan betapa kaum perempuan terlibat dalam berbagai bidang kehidupan tanpa terkecuali. Kenyataan sejarah menunjukkan sekian banyak perempuan yang banyak terlibat pada persoalan politik praktis. Ummu Hani' misalnya, dibenarkan sikapnya oleh Rasulullah saw ketika memberi jaminan keamanan kepada sebagian orang musyrik (jaminan keamanan merupakan salah satu aspek bidang politik). Bahkan istri Nabi Muhammad saw sendiri yakni Aisyah r.a. memimpin langsung peperangan melawan Ali bin Abi Tholib yang ketika itu menjabat kepala negara. Dan isu terbesar dalam peperangan tersebut adalah suksesi setelah terbunuhnya khalifah Ustman. Peperangan ini dikenal dalam sejarah Islam dengan nama perang Jamal (656 M). Keterlibatan Aisyah bersama sekian banyak sahabat Nabi dan kepemimpinannya dalam perang itu menunjukkan bahwa beliau bersama pengikutnya memperbolehkan keterlibatan perempuan dalam politik praktis sekalipun.

Islam Mengajarkan Kesetaraan
Al-Qur'an dan Hadits sebagai rujukan prinsip masyarakat Islam pada dasarnya mengakui bahwa kedudukan laki-laki dan perempuan adalah sama. Keduanya diciptakan dari satu "nafs" ("living entity"), di mana yang satu tidak memiliki keunggulan terhadap yang lain. Bahkan al-Qur'an tidak menjelaskan dengan tegas bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Nabi Adam sehingga kedudukan dan statusnya lebih rendah. Atas dasar itu, prinsip al-Qur'an terhadap kaum laki-laki dan perempuan adalah sama. Dengan kata lain, laki-laki memiliki hak dan kewajiban terhadap kaum perempuan dan sebaliknya perempuan juga memiliki hak dan kewajiban terhadap laki-laki. Aspek lain yang memperlihatkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam Islam adalah tanggung jawab sosial terhadap masyarakat. Secara sosiologis, manusia merupakan makhluk bermasyarakat. Untuk itu baik muslim maupun muslimah, keduanya merupakan unsur masyarakat untuk membangun "civil society". Dalam kaitannya dengan peran politik perempuan, kita dapat berkesimpulan bahwa tidak ditemukan satu ketentuan agama pun yang dapat dipahami sebagai larangan keterlibatan perempuan dalam kancah politik, atau ketentuan agama yang membatasi bidang tersebut hanya untuk kaum laki-laki. Di sisi lain, justru cukup banyak ayat dan hadits yang dapat dijadikan dasar penetapan adanya hak-hak tersebut. Menyangkut argumentasi normatif, sudah sangat jelas bahwa penolakan kepemimpinan perempuan bukanlah satu-satunya pendapat dalam hukum Islam. Dengan melihat "ashab al-wurud" hadits dan "ashab al-nuzul" ayat al-Qur'an tentang kepemimpinan perempuan seperti telah dielaborasi oleh mufassir kontemporer Prof. Dr. M. Quraish Shihab, disimpulkan bahwa kepemimpian perempuan tidak dipersoalkan oleh Islam, sebab dasar pijakannya bukan pada perbedaan gender melainkan lebih pada potensi intelektual dan psikologis. Jadi selama memiliki potensi kepemimpinan, tak ada halangan tampilnya wanita sebagai pemimpin negara (M. Quraish Shihab, op.cit, 314). Dalam kaitan ini Ibn Taimiyah mensyaratkan kepala negara adalah orang yang mempunyai kualifikasi kekuatan ("al-quwwat") dan integritas ("al-amanah"). Pendapat ini didasarkan pada firman Allah SWT dalam surat al-Qashash ayat 26: "orang yang paling baik untuk bekerja adalah orang yang kuat lagi dipercaya" (Jeje Abdul Rozak, loc.cit.). Dengan demikian yang berbicara dalam hal ini bukan lagi soal perbedaan jenis kelamin, melainkan profesionalitas, integritas pribadi dan kecakapan serta jiwa leadership. Sejauh orang perempuan tersebut memiliki kredibilitas, kapasilitas, akuntabilitas, dan akseptabilitas yang memadai tidak ada persoalan ia menjadi pemimpin politik. Memang, tidak dapat kita pungkiri bahwa perempuan banyak menemui kendala ketika memegang posisi penting dalam sektor publik. Adanya kodrat alamiah perempuan, dari hamil, melahirkan, menyusui dan lain-lain adalah fenomena yang tidak dapat disangkal. Tetapi bukan berarti peran publik perempuan menjadi terbatas atau bahkan hilang karena faktor-faktor tersebut. Sisi lain, jika kita mau jujur, keterbelakangan dan ketertinggalan perempuan juga tidak luput dari "kesalahan" mereka sendiri. Dengan kata lain, jika sistem sudah memberikan kesempatan yang sama kepada laki-laki dan perempuan, maka jika wanita tidak mampu bersaing dan kalah yang perlu disalahkan adalah kaum perempuan itu sendiri. Hal ini sesuai dengan pendapat feminisme liberal (Mansour Fakih, 1997: 82). Itulah sebabnya usulan mereka (feminisme liberal) untuk memecahkan masalah kaum perempuan adalah dengan cara menyiapkan kaum perempuan agar bisa bersaing dengan dalam dunia yang penuh dengan persaingan bebas. Sebagian dari usaha ini dapat dilihat, misalnya, dalam program-program semacam "Women in Development" (Perempuan dalam Pembangunan), sehingga perempuan dapat ikut berpartisipasi aktif dalam kancah publik, termasuk dalam dunia politik. [Caswiyono Rusydi]



Kesetaraan Gender

Muslimat dalam Kesetaraan Gender
Oleh Jamal Ma'mur Asmani

MELEPASKAN hegemoni politik dan diversifikasi peran publik sebagai manifestasi kesetaraan gender adalah dua agenda utama yang harus diperjuangkan dalam Kongres Muslimat NU XV yang berlangsung 28 Maret sampai 1 April 2006 di Batam. Oleh sebab itu siapa nahkoda yang nanti menjadi topleader Muslimat, dia haruslah menanggalkan segala atribut politik agar tidak terjebak dalam conflict of interest.

Khofifah Indarparawansa yang saat ini masih aktif di PKB selayaknya menanggalkan atribut kepartaiannya demi kepentingan lebih besar, optimalisasi pemberdayaan Muslimat. Netralitas Muslimat dari arena kontestasi dan konstelasi politik perlu diformalkan dalam AD/ART organisasi demi mengantisipasi tarik- menarik politisi oportunis yang suka mengail di air keruh.

Kepemimpinan Khofifah selama satu periode ini patut menjadi bahan evaluasi kritis. Menurut penulis, Khofifah tidak maksimal dalam memberdayakan Muslimat khususnya dalam aspek ekonomi dan pendidikan. Dia banyak disibukkan dalam internal partainya yang sampai saat ini terlibat konflik yang tidak berkesudahan.

Muslimat yang ada di daerah jarang dikunjunginya, sehingga kemampuan memetakan potensi dan kelemahannya menjadi tidak akurat. Akibatnya pemilihan program kontekstual, prioritas daerah mana yang harus diberi perhatian lebih dan strategi implementasi programnya kurang efektif.

Dengan lepas dari aktivitas politik praktis, Muslimat, khususnya pemimpin puncak mampu memaksimalkan waktu, tenaga, pikiran, dan semua sumber daya-nya untuk memajukan Muslimat dari Sabang sampai Merauke.

Konsolidasi Gender

Konsolidasi gender adalah garapan kedua yang tidak kalah pentingnya. SDM Muslimat secara faktual luar biasa hebatnya, mereka banyak yang terdidik dalam tradisi akademik yang kritis, progresif, analitis, proyektif, dan kompetitif, namun ketika masuk dalam wadah Muslimat yang notabene adalah underbow - nya NU, mereka menjumpai doktrin aga-ma yang hegemonik, sentralistik, patriarkal, dan eksklusif.

Ironisnya doktrin semacam ini masih dipegangi secara taken for granted para ulama NU sebagai pemimpin tertinggi yang mempunyai legitimasi keilmuan, kultural, dan sosial yang tinggi di tengah masyarakat.

Doktrin hegemonik-patriarkal-eksklusif tersebut antara lain Pertama, konsep kepemimpinan. Masih banyak ulama yang memahami secara tekstual hadis lan yufliha qou-mun wallaw amrahum imraatan, tidak akan bahagia suatu komunitas sosial yang menyerahkan persoalannya pada perempuan.

Ini dijadikan justifikasi tidak bolehnya perempuan menjadi pemimpin. Hadis ini sebenarnya sangat kasuistis, historis, dan kontekstual sekali. Hadis tersebut adalah komentar Nabi bermula dari kisah Abdullah ibn Hudzafah, kurir Rasulullah yang menyampaikan surat ajakan masuk Islam kepada Kisro Anusyirwan, penguasa Persia yang beragama majusi. Ternyata ajakan tersebut ditanggapi sinis dengan merobek-robek surat.

Dari laporan tersebut Nabi mempunyai firasat bahwa Imperium Persia kelak akan terpecah belah sebagaimana Anu-syirwan merobek-robek surat. Akhirnya tidak berapa lama, kerajaan tersebut dipimpin putri Kisro yang bernama Buran yang kapabilitas kepemimpinannya lemah.

Saat itulah Nabi bersabda sebagaima-na hadis di atas. Apalagi percaturan politik Timur Tengah saat ini sangat rawan peperangan antarsuku (Said Aqil Si-raj,1999;8). Dus, sabda Nabi tersebut ha-nya ditujukan pada pemimpin wanita yang tidak kapable.

Kalau sampai berlaku umum tentu bertabrakan dengan pujian Allah pada ratu Bilqis, pemimpin wanita di negeri Saba. Ukurannya adalah kapabilitas dan kapasitas keilmuan, bukan jenis kelamin. Hal lain yang masih kontroversial adalah tidak bolehnya perempuan menjadi qodli (hakim) pengadilan.

Sedangkan saat ini banyak wanita yang sudah menjadi hakim. Hanya Imam Abu Hanifah yang memperbolehkan wanita menjadi qodli untuk urusan perdata, bukan urusan pidana.

Munas Alim Ulama 1974 hanya memperbolehkan wanita sebagai hakim anggota (Hasyim Abbas, 2004:35). Sedangkan ulama yang memperbolehkan wanita menjadi qodli secara penuh untuk semua urusan hanya Ibnu Jarir Al-Thobari yang notabene adalah non-madzahibul arba'ah (Husain Muhammad, 2006).

Ini menunjukkan harus ada keberanian pindah mazhab walau non-madzahibul arba'ah, karena tuntutan zaman yang sulit ditolak.

Kedua, konsep perlindungan dan keamanan. Dalam khazanah fikih, perempuan tidak boleh bepergian tanpa mahram, atau bersama perempuan banyak yang bisa dipercaya. Ajaran ini sangat tidak relevan kalau dipaksakan di era globalisasi sekarang ini. Namun inti ajaran tersebut adalah perlindungan dan ke-amanan perempuan. Kalau zaman dulu harus dengan mahram atau ditemani sesama perempuan, saat ini proteksi tersebut berupa undang-undang, jaminan hukum, kesigapan aparat penegak hukum dan kesadaran masyarakat.

Ketiga, konsep menjaga stabilitas moral sosial. Wanita dianggap sebagai penebar fitnah dan pembangkit syahwat. Maka wanita tidak boleh menampakkan auratnya, bersuara, berkumpul dan bercampur dengan lawan jenis. Wanita cukup di kamar atau di rumah saja. Di era globalisasi dan modernisasi saat ini, alasan ini sangat tidak logis.

Interaksi laki-laki dan wanita dalam semua aspek kehidupan sudah sedemikian terbukanya, tidak ada demarkasi, semuanya berdasar kemanfaatan dan kemaslahatan kolektif. Kalau sampai ada demarkasi, saya pikir akan ada radikalisasi masa.

Tradisi lokal masyarakat dan bangsa ini tidak menerima realitas ideal tersebut. Dalam konteks inilah, pandangan moderat dalam arti memperbolehkan interaksi laki-laki dan perempuan secara terbuka, asalkan mendatangkan kemaslahatan bersama, dan menjauhi dampak negatif sebagaimana pergaulan bebas tak beretika dan tak bermoral yang mengakibatkan kompleksitas problem sosial seperti fenomena free sex Barat.

Diversifikasi Peran Publik

Poin ketiga yang harus diperjuangkan peserta Konggres adalah diversifikasi peran publik. Program Muslimat harus menyentuh seluruh lapisan masyarakat sampai desa, mulai aspek pendidikan, ekonomi, sosial, budaya, teknologi, dan politik kebangsaan.

Penguatan ekonomi dalam bentuk pendirian koperasi dari Pusat hingga Ranting adalah terobosan efektif. Muslimat daerah biasanya sudah mempunyai acara rutin, seperti arisan pada waktu pengajian selapanan (40 hari sekali).

Budaya ini bisa dikembangkan dalam bentuk pendirian koperasi. Dibentuklah pengurus koperasi yang capable, bersih KKN, dan akuntable.

Intensifikasi kursus seperti menjahit, komputer, wirausaha, dan sejenisnya sangat bermanfaat bagi rakyat kecil di era persaingan ekonomi saat ini. Dengan skills memadai, warga Muslimat dapat semakin mandiri, mampu mengembangkan bisnis dan memikirkan organisasi.

Untuk mengembangkan SDM warganya, pendirian perpustakaan hingga level desa akan sangat bermanfaat. Perpustakaan tersebut dapat menjadi taman baca ibu-ibu dengan putra-putrinya untuk menambah ilmu, memperluas cakrawala pemikiran, dan membiasakan anak membaca.

Buku yang tersedia berkisar masalah agama, cara berwirausaha, macam-macam wirausaha, buku anak-anak, sosial, budaya, pendidikan dan lain-lain.

Studi banding ke lembaga lain yang lebih maju saya pikir dapat lebih memotivasi pengurus Muslimat memajukan organisasi ini. Karena dengan studi banding akan ketahuan kelemahan, problematika, akar persoalan yang terjadi, dan muncul ide-ide progresif.

Semoga dengan Konggres XV Muslimat mampu memberikan kontribusi besar bagi kemajuan bangsa (11)

Jamal Ma'mur Asmani, pengamat sosial, kader NU Pati.

Wawancara


Wawancara - Dra. Misbah Zulfa Elisabeth, M.Hum. - Perempuan harus diberi hak yang sama dengan laki-laki
Update : 20 / Juli / 2006
Edisi 22 Th. 2-2005M/1426H
Bagaimana tanggapan Anda tentang peran perempuan dalam berkiprah di ruang publik?
Sebenarnya perempuan mempunyai hak yang sama seperti laki-laki dalam berkiprah, maka jika ada perempuan yang mampu dan punya peluang dalam berkiprah, kenapa nggak? Jadi persoalannya bukan bagaimana perempuan dalam ruang publik, tapi harusnya, kenapa perempuan masih dibatasi dalam ruang publik? Jadi pembicaraanya masih dalam konsep-konsep jender dalam masyarakat kita. Masyarakat kita itu kan masih dalam konsep perempuan sebagai second class (ibu rumah tangga). Jadi konsep itu yang menjadikan kiprah mereka dalam ruang publik masih dibatasi, yang menjadikan kesan bahwa kemampuan perempuan lebih rendah dibanding laki-laki. Dan semua itu bisa kita temui dalam mitos-mitos atau teks-teks yang menerangkan tentang hal tersebut. Kemudian, karena konsep itu pula, maka perempuan tidak tersiapkan untuk masuki ruang publik, di mana sebenarnya perempuan punya peluang dalam bidang-bidang yang lebih profesional.

Upaya apa yang harus dilakukan untuk lebih memperdayakan potensi perempuan yang sekarang masih terkesan setengah-setengah?
Saya kira kalau masalah pemberdayakan perempuan itukan masalah kemanusiaan, dan antara perempuan dan laki-laki harus sama. Jadi kalau sekarang masih terkesan setengah-setengah, marilah kita ubah dengan sepenuhnya. Karena tanggung jawab secara kemanusiaan bagi perempuan itu sama dengan laki-laki. Kalau laki-laki bertanggung jawab atas istri dan anak-anaknya, maka tidak beda dengan perempuan, yang mempunyai tanggung jawab yang sama, yaitu tanggung jawab atas suami dan anak-anaknya. Begitu juga dalam ruang publik. Ya mungkin ini proses yang bertahap seperti perubahan budaya dalam masyarakat kita.

Mengenai peran perempuan dalam kancah politik, menurut Anda bagaimana?
Ya nggak apa-apa, sepanjang ia mempunyai kemampuan dalam bidang itu. Sayangnya proses pembelajaran dalam negara kita bagi kesempatan perempuan berkiprah masih dalam level memberikan plus untuk perempuan. Akhirnya untuk saat ini kita belum melihat perkembangan perempuan lebih signifikan dalam kancah politik. Maka kita kadang melihat perempuan dalam kancah politik masih belum bisa membanggakan, dan itu juga karena mereka belum tersiapkan secara matang, seperti halnya perempuan duduk dalam parlemen, itukan karena mereka dapat kuota dari daerah. Dan dia masih belum siap ketika dibawa masuk oleh partai politiknya ke parlemen. Maka secara intelektual dan kemampuan yang lain mereka belum terbiasa untuk memutuskan permasalahan-permasalahan yang terlalu rumit atau kompleks.

Jadi, konsep yang ideal bagi perempuan dalam ruang publik untuk saat ini belum maksimal?
Ya begitulah, karena seperti yang saya katakan tadi, bahwa perkembangan perempuan masih perlu proses. Kita harus menghilangkan dulu kesan bahwa perempuan harus diam, rak sah neko-neko, anteng dan sebagainya. Hal-hal tersebut menjadikan pembentukan karakter pada perempuan bisa menjadi terkengkang. Dan sekarang kita harus melakukan upaya-upaya dorongan pada mereka untuk lebih maksimal dalam kiprahnya. Maka kita harus memberi kesempatan bagi mereka untuk menyampaikan ide serta gagasan–gagasan mereka, agar mereka bisa lebih maksimal.

Dari sisi doktrin agama , bagaimana menurut Anda?
Kita berbicara budaya, maka kita tidak akan lepas dari nilai-nilai adab atau perilaku. Itu semua yang mengatur atau kembalinya pada doktrin agama, maka kita harus lebih memperluas atau mendalami lebih lanjut tentang doktrin tersebut. Seperti halnya dalam ayat-ayat yang menerangkan tentang pembatasan perempuan seperti yang sering dijadikan dalih oleh banyak kalangan "Arrijaalu qowwamuuna 'alan nisaa'. Maka kita harus memperluas makna ayat tersebut. Dan memang persoalan kekhawatiran terhadap perempuan yang berkiprah di luar rumah tangga itu tidak hanya pada diri laki-laki, tapi dari pihak perempuan juga punya kekhawatiran. Bagaimana nanti permasalahan rumah tangga kalau perempuan keluar dari rumah tangga. Dan itu juga karena proses pembelajaran awalnya perempuan memang seperti itu. Maka kita harus lebih pintar menanggapi permasalahan tersebut, maksudnya permasalahn rumah tangga itu kan kewajiban atau tanggung jawab bersama antara suami dan istri. Maka kita harus merubah tradisi atau pemikiran bahwa dalam rumah tangga itu tanggung jawab mutlak istri dan nafkah adalah tanggung jawab suami.

Bagaimana menurut Anda tentang wacana jender yang di galakkan Barat, jika diterapkan di Indonesia?
Masalah tersebut menurut saya sangat beragam, dari konservatif liberal dan sebagainya. Begitu juga jender yang perspektif Islam juga menjadi mainstream sendiri, dan itupun masih beragam. Jadi kita harus selektif dalam mempelajari jender yang berkiblat dari Barat tersebut. Jika sangat bertentangan dengan kebudayaan kita , ya kita tolak.

Di negara yang mayoritas Islam justru kiprah kaum perempuannya sangat terbatas. Bagaimana menurut Anda?
Ya memang kenyataanntya begitu. Itu semua kembali pada masalah kultur bangsa itu sendiri dan juga kita kaitkan dengan doktrin agama. Tapi sejauh ini masih dalam iklim dinamis. Kita bisa melihat di Arab, yang menurut kebebasannya itu lebih sempit dari Indonesia, tapi toh di sana iklimnya masih dinamis.

Perlukah adanya gerakan keseimbangan antara peran publik dan non publik bagi perempuan?
Ya harus ada pembelajaran. Seperti dalam pemilu kemarin untuk kaum perempuan diberi kuota sampai 30 % dan itu jika belum dipersiapkan dengan pembelajaran yang maksimal. Mungkin hasilnya juga kurang maksimal. Jadi awal dari pembelajaran tersebut harusnya dari keluraga. Pihak perempuan harus diberi hak yang sama dengan laki-laki. Potensi keduanya harus sama-sama dikembangkan. Maka perempuan akan bisa tampil sebagai dirinya, tanpa terbebani dengan batas yang sudah menjadi kultur masyarakat kita. Dari situ, perempuan akan benar-benar siap untuk tampil dalam ruang. Di samping itu pemerintah harus mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang adil bagi perempuan.

Dalam jam'iyyah NU, perempuan diberi ruang publik, seperti wadah Fatayyat, Muslimah, IPPNU. Bagaimana menurut Anda?
Memang kalu kita lihat dalam wadah tersebut, arahnya menuju pembelajaran serta pemberdayaan perempuan untuk berkiprah dalam publik. Kalau ditanya apakah wadah tersebut sudah berperan, atau sebagai struktur formal, ya jawabannya sudah berperan, dengan bukti mereka punya masa sampai di tingkat ranting.

Terakhir, apa pesan Anda sebagai seorang aktifis jender untuk kaum perempuan?
Ekspresikan saja segala kemampuannya. Dengan hal tersebut maka orang akan melihat potensi pada diri perempuan, Tapi jangan sampai meninggalkan kultur traditional yang sudah menjadi kultur perempuan Indonesia, yaitu lemah lembut, sopan dan masih memegang norma-norma leluhur, dan juga harus dalam batas-batas yang ditentukan agama.