Muslimat dalam Kesetaraan Gender
Oleh Jamal Ma'mur Asmani
MELEPASKAN hegemoni politik dan diversifikasi peran publik sebagai manifestasi kesetaraan gender adalah dua agenda utama yang harus diperjuangkan dalam Kongres Muslimat NU XV yang berlangsung 28 Maret sampai 1 April 2006 di Batam. Oleh sebab itu siapa nahkoda yang nanti menjadi topleader Muslimat, dia haruslah menanggalkan segala atribut politik agar tidak terjebak dalam conflict of interest.
Khofifah Indarparawansa yang saat ini masih aktif di PKB selayaknya menanggalkan atribut kepartaiannya demi kepentingan lebih besar, optimalisasi pemberdayaan Muslimat. Netralitas Muslimat dari arena kontestasi dan konstelasi politik perlu diformalkan dalam AD/ART organisasi demi mengantisipasi tarik- menarik politisi oportunis yang suka mengail di air keruh.
Kepemimpinan Khofifah selama satu periode ini patut menjadi bahan evaluasi kritis. Menurut penulis, Khofifah tidak maksimal dalam memberdayakan Muslimat khususnya dalam aspek ekonomi dan pendidikan. Dia banyak disibukkan dalam internal partainya yang sampai saat ini terlibat konflik yang tidak berkesudahan.
Muslimat yang ada di daerah jarang dikunjunginya, sehingga kemampuan memetakan potensi dan kelemahannya menjadi tidak akurat. Akibatnya pemilihan program kontekstual, prioritas daerah mana yang harus diberi perhatian lebih dan strategi implementasi programnya kurang efektif.
Dengan lepas dari aktivitas politik praktis, Muslimat, khususnya pemimpin puncak mampu memaksimalkan waktu, tenaga, pikiran, dan semua sumber daya-nya untuk memajukan Muslimat dari Sabang sampai Merauke.
Konsolidasi Gender
Konsolidasi gender adalah garapan kedua yang tidak kalah pentingnya. SDM Muslimat secara faktual luar biasa hebatnya, mereka banyak yang terdidik dalam tradisi akademik yang kritis, progresif, analitis, proyektif, dan kompetitif, namun ketika masuk dalam wadah Muslimat yang notabene adalah underbow - nya NU, mereka menjumpai doktrin aga-ma yang hegemonik, sentralistik, patriarkal, dan eksklusif.
Ironisnya doktrin semacam ini masih dipegangi secara taken for granted para ulama NU sebagai pemimpin tertinggi yang mempunyai legitimasi keilmuan, kultural, dan sosial yang tinggi di tengah masyarakat.
Doktrin hegemonik-patriarkal-eksklusif tersebut antara lain Pertama, konsep kepemimpinan. Masih banyak ulama yang memahami secara tekstual hadis lan yufliha qou-mun wallaw amrahum imraatan, tidak akan bahagia suatu komunitas sosial yang menyerahkan persoalannya pada perempuan.
Ini dijadikan justifikasi tidak bolehnya perempuan menjadi pemimpin. Hadis ini sebenarnya sangat kasuistis, historis, dan kontekstual sekali. Hadis tersebut adalah komentar Nabi bermula dari kisah Abdullah ibn Hudzafah, kurir Rasulullah yang menyampaikan surat ajakan masuk Islam kepada Kisro Anusyirwan, penguasa Persia yang beragama majusi. Ternyata ajakan tersebut ditanggapi sinis dengan merobek-robek surat.
Dari laporan tersebut Nabi mempunyai firasat bahwa Imperium Persia kelak akan terpecah belah sebagaimana Anu-syirwan merobek-robek surat. Akhirnya tidak berapa lama, kerajaan tersebut dipimpin putri Kisro yang bernama Buran yang kapabilitas kepemimpinannya lemah.
Saat itulah Nabi bersabda sebagaima-na hadis di atas. Apalagi percaturan politik Timur Tengah saat ini sangat rawan peperangan antarsuku (Said Aqil Si-raj,1999;8). Dus, sabda Nabi tersebut ha-nya ditujukan pada pemimpin wanita yang tidak kapable.
Kalau sampai berlaku umum tentu bertabrakan dengan pujian Allah pada ratu Bilqis, pemimpin wanita di negeri Saba. Ukurannya adalah kapabilitas dan kapasitas keilmuan, bukan jenis kelamin. Hal lain yang masih kontroversial adalah tidak bolehnya perempuan menjadi qodli (hakim) pengadilan.
Sedangkan saat ini banyak wanita yang sudah menjadi hakim. Hanya Imam Abu Hanifah yang memperbolehkan wanita menjadi qodli untuk urusan perdata, bukan urusan pidana.
Munas Alim Ulama 1974 hanya memperbolehkan wanita sebagai hakim anggota (Hasyim Abbas, 2004:35). Sedangkan ulama yang memperbolehkan wanita menjadi qodli secara penuh untuk semua urusan hanya Ibnu Jarir Al-Thobari yang notabene adalah non-madzahibul arba'ah (Husain Muhammad, 2006).
Ini menunjukkan harus ada keberanian pindah mazhab walau non-madzahibul arba'ah, karena tuntutan zaman yang sulit ditolak.
Kedua, konsep perlindungan dan keamanan. Dalam khazanah fikih, perempuan tidak boleh bepergian tanpa mahram, atau bersama perempuan banyak yang bisa dipercaya. Ajaran ini sangat tidak relevan kalau dipaksakan di era globalisasi sekarang ini. Namun inti ajaran tersebut adalah perlindungan dan ke-amanan perempuan. Kalau zaman dulu harus dengan mahram atau ditemani sesama perempuan, saat ini proteksi tersebut berupa undang-undang, jaminan hukum, kesigapan aparat penegak hukum dan kesadaran masyarakat.
Ketiga, konsep menjaga stabilitas moral sosial. Wanita dianggap sebagai penebar fitnah dan pembangkit syahwat. Maka wanita tidak boleh menampakkan auratnya, bersuara, berkumpul dan bercampur dengan lawan jenis. Wanita cukup di kamar atau di rumah saja. Di era globalisasi dan modernisasi saat ini, alasan ini sangat tidak logis.
Interaksi laki-laki dan wanita dalam semua aspek kehidupan sudah sedemikian terbukanya, tidak ada demarkasi, semuanya berdasar kemanfaatan dan kemaslahatan kolektif. Kalau sampai ada demarkasi, saya pikir akan ada radikalisasi masa.
Tradisi lokal masyarakat dan bangsa ini tidak menerima realitas ideal tersebut. Dalam konteks inilah, pandangan moderat dalam arti memperbolehkan interaksi laki-laki dan perempuan secara terbuka, asalkan mendatangkan kemaslahatan bersama, dan menjauhi dampak negatif sebagaimana pergaulan bebas tak beretika dan tak bermoral yang mengakibatkan kompleksitas problem sosial seperti fenomena free sex Barat.
Diversifikasi Peran Publik
Poin ketiga yang harus diperjuangkan peserta Konggres adalah diversifikasi peran publik. Program Muslimat harus menyentuh seluruh lapisan masyarakat sampai desa, mulai aspek pendidikan, ekonomi, sosial, budaya, teknologi, dan politik kebangsaan.
Penguatan ekonomi dalam bentuk pendirian koperasi dari Pusat hingga Ranting adalah terobosan efektif. Muslimat daerah biasanya sudah mempunyai acara rutin, seperti arisan pada waktu pengajian selapanan (40 hari sekali).
Budaya ini bisa dikembangkan dalam bentuk pendirian koperasi. Dibentuklah pengurus koperasi yang capable, bersih KKN, dan akuntable.
Intensifikasi kursus seperti menjahit, komputer, wirausaha, dan sejenisnya sangat bermanfaat bagi rakyat kecil di era persaingan ekonomi saat ini. Dengan skills memadai, warga Muslimat dapat semakin mandiri, mampu mengembangkan bisnis dan memikirkan organisasi.
Untuk mengembangkan SDM warganya, pendirian perpustakaan hingga level desa akan sangat bermanfaat. Perpustakaan tersebut dapat menjadi taman baca ibu-ibu dengan putra-putrinya untuk menambah ilmu, memperluas cakrawala pemikiran, dan membiasakan anak membaca.
Buku yang tersedia berkisar masalah agama, cara berwirausaha, macam-macam wirausaha, buku anak-anak, sosial, budaya, pendidikan dan lain-lain.
Studi banding ke lembaga lain yang lebih maju saya pikir dapat lebih memotivasi pengurus Muslimat memajukan organisasi ini. Karena dengan studi banding akan ketahuan kelemahan, problematika, akar persoalan yang terjadi, dan muncul ide-ide progresif.
Semoga dengan Konggres XV Muslimat mampu memberikan kontribusi besar bagi kemajuan bangsa (11)
Jamal Ma'mur Asmani, pengamat sosial, kader NU Pati.
Minggu, 26 Oktober 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar