Ideologi Gerakan Kaum Perempuan
Update : 20 / Juli / 2006
Edisi 22 Th. 2-2005M/1426H
Diskursus persamaan hak antara laki-laki dan perempuan (gender) dalam agenda ideologi gerakan perempuan saat ini (feminisme kontemporer0) banyak memfokuskan pada persamaan hak, partisipasi perempuan dalam kerja, pendidikan, kebebasan seksual maupun hak reproduksi. Sejak abad 17 hingga 21 perjuangan feminis telah mencapai pasang surut dan mengalami perluasan wilayah tuntutan dan agenda perjuangan yang jauh lebih rumit bahkan menuntut satu studi khusus terhadap wacana ini. Dari kubu pro dan kontra feminisme, dari kritikan dan kecaman yang terlontar, Islam diantaranya yang paling mendapat banyak sorotan dalam kaitannya terhadap status dan aturan yang diberikan agama ini terhadap kaum perempuan. Hegemoni Islam terhadap perempuan muslim di negara-negara Islam terlihat jelas dalam dalam praktek keseharian di panggung kehidupan, dimana kaum perempuan mendapat kesulitan dalam bergaul, mengekpresikan kebebasan individunya, terkungkung oleh aturan yang sangat membatasi ruang kerja dan gerak dinamisnya, bahkan suaranyapun tidak berarti layaknya seorang warga negara atau anggota masyarakat atau hak seorang inddividu. Fenomena ini terlihat jelas di negara-negara ketiga (baca: berkembang) yang notabenenya adalah negara Islam. Namun benarkah demikian? atau justru Islam yang menginspirasikan munculnya gerakan feminisme masa lalu dan menyuarakan persamaan hak antar laki-laki dan perempuan yang hidup dalam kondisi kronis pada masa itu? Gerakan feminisme telah membuka mata banyak orang dan menyadarkan wanita bahwa memang selama ini penindasan terhadap kaum wanita di Indonesia terjadi di mana-mana. Disadari atau tidak, pemerintah pun terlibat di dalamnya. Ini terjadi karena perbedaan perlakuan terhadap kaum wanita sudah ditanam sejak usia dini dan dilakukan tanpa sadar oleh orang tua. Gerakan feminisme bukanlah suatu gerakan untuk menandingi ataupun mengganti kekuatan pria, tapi gerakan yang meminta kesetaraan antara pria dan wanita. Ibu Agnes dan Maya pun setuju tentang hal ini. Posisi kaum wanita sudah lebih baik ketika disahkannya UU KDRT (Kerukunan Dalam Rumah Tangga). Namun RUU Anti-Pornografi dan Pornoaksi yang sedang berusaha digolkan oleh Golkar, dipertimbangkan sebagai pemasungan kembali peran wanita di dalam masyarakat dan kali ini dengan memakai ajaran agama Islam sebagai pembenaran. Agama Islam datang untuk membebaskan roh manusia dari belenggu-belenggu duniawi yang salah-satunya adalah ketidakadilan. Tapi pada kenyataannya, ajaran Islam ditafsirkan secara tekstual untuk dijadikan pembenaran bagi penindasan pada kaum wanita. Ini sangat menyesatkan dan sangat disayangkan. Agnes Sri Purbasari, pengajar di Fakultas Ilmu Budaya Jurusan Filsafat UI, menjelaskan bahwa dalam melihat suatu persoalan kita harus tahu dari sudut pandang mana kita membahas. Dari sudut realitas, memang tidak bisa digeneralisasi bahwa semua wanita yang berprofesi sebagai PSK, kawin kontrak atau dipoligami adalah korban, tapi bila dari sudut analisis, diskusi kali bertujuan mengkaitkan putusnya hubungan kaum wanita dengan nation-state (negara) berakibat dengan usaha kaum wanita di Indonesia untuk mengatasi keterpurukan ekonomi dengan mencoreng nama Indonesia di mata dunia internasional. Bahwa Feminisme bukan merupakan gerakan perempuan liar makin jelas ketika Anne menjelaskan setiap pandangan aliran feminisme. Feminisme liberal menekankan hak-hak sipil, memandang hak kaum perempuan bebas mengambil keputusan atas seksualitasnya dan hak reproduksi mereka. Feminisme kultural disebut pula feminisme reformatif dan feminisme romantis. Feminisme kultural mengaitkan nilai kehidupan dengan nilai tradisional perempuan, seperti bela rasa, pengasuhan, pengelolaan lingkungan hidup, dan nilai kemanusiaan yang menekankan moral. Feminisme radikal menekankan penghapusan merajalelanya dominasi laki-laki terhadap kehidupan. Dimulai dari dominasi laki-laki terhadap perempuan, kemudian muncul berbagai dominasi berbasis kekuasaan. Feminisme sosialis menekankan dominasi laki-laki kapitalis berkulit putih dalam perjuangan keadilan ekonomi global. Penjelasan Anne aliran feminisme dari gelombang pertama sampai gelombang ketiga makin jelas ketika dikaitkan dengan gerakan moral dari feminisme gelombang ke tiga, spiritual feminisme dan ekofeminisme. Sementara feminisme dalam filsafat diutarakan Dr. Gadis Arivia dalam buku Filsafat Berperspektif Feminis. Dia mengungkapkan beberapa contoh pandangan laki-laki filsuf abad modern tentang perempuan, yang berhulu pada pemikiran-pemikiran filsuf sebelumnya, dapat ditandai dengan maraknya usaha menampilkan ulang representasi perempuan filsuf yang berbicara bukan saja tentang perempuan, tetapi pemikirannya tentang filsafat. Pada tahap ini, ada semacam usaha untuk menunjukkan suara-suara feminis atas pembahasan filsafat. Namun, ini saja masih belum cukup. Maka muncul bukan saja feminisme dalam filsafat, tetapi usaha untuk mengonstruksi filsafat agar dapat menghasilkan filsafat yang feminis. Gadis mengatakan bahwa munculnya diskriminasi yang merendahkan kaum perempuan beserta seluruh pengalaman dan pemikirannya berakar sekitar sepuluh ribu tahun lalu, sejak millenium keempat Sebelum Masehi. Pada saat itu laki-laki mulai membangun apa yang dinamakan patriark-supremasi laki-laki. Dalam karyanya "A Discourse on Political Economy" (1755), filsuf Jean Jacques Rousseau secara konsisten memandang perempuan sebagai makhluk inferior dan tersubordinasi. Tujuan hidup mereka hanya untuk melayani laki-laki. Karena itu, mereka tidak mungkin atau tidak dapat menjadi pemimpin. Arthur Schoupenhauer yang karyanya "On the Freedom of the Human Will" (1839) mendapat penghormatan tertinggi dari Masyarakat Ilmiah Kerajaan Swedia, bahkan sangat populer dan memiliki banyak pengikut perempuan. Padahal oleh para feminis abad ke-20, ia dianggap sebagai misoginis klasik. Schoupenhauer mengombinasikan hampir semua aspek negatif perempuan dari pemikir-pemikir terdahulu, dan selanjutnya menambahkan ide-idenya sendiri tentang perempuan, yang tentu saja semakin memperkuat pemikiran misoginis yang terdahulu. Pemikiran-pemikiran itu, dengan caranya sendiri, merembes ke dalam seluruh ajaran dan sistem nilai masyarakat di seluruh dunia, yang melahirkan feodalisme dan kolonialisme, khususnya di dalam cara berpikir. Pemikiran-pemikiran seperti itulah, kata Gadis, yang menyebabkan kekerasan terhadap perempuan menjadi bukan sesuatu yang aneh. Institusi mana pun menoleransi perlakuan misoginis (kebencian terhadap perempuan), dalam banyak kasus bahkan mendukungnya. Sikap misoginis juga mengemuka dalam bahasa, yang digunakan dengan ringannya, mulai dari mereka yang menguasai senjata sampai pekerja seni, dan kemudian diadaptasi menjadi sesuatu yang biasa dalam kehidupan sehari-hari. Sementara Dr. Haryatmoko, dosen Pascasarjana Filsafat Universitas Indonesia mengatakan, bahwa dominasi (pemikiran) laki-laki melalui wacana lebih berat karena korban, secara sadar atau tidak sadar ikut menyetujui kekerasan simbolis yang menindas dirinya. Seorang artis yang akan menikah, misalnya, kata Haryatmoko memberi contoh, dengan ringan mengatakan, "suami saya mengizinkan saya untuk terus menekuni karier sebagai artis" dan sebagian besar pembacanya setuju dengan pernyataan tersebut, bahkan menganggap artis itu hebat. Ini semakin mendukung kekerasan simbolis tersebut. Adapun Myra Diasi MA, feminis, aktivis, dan anggota Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengatakan bahwa analisis filsafat para feminis, seperti Catherina Cockburn, Mary Wollstonecraft dan Rosemary Putnam-Tong, Allison Jaggar dan Marilyn French terasa lebih longgar dibanding analisis pemikiran para laki-laki filsuf mengenai perempuan. "Telaah filosofis feminismenya terasa lebih longgar, sementara di bagian depan, sangat ketat," ujarnya. Dominasi pemikiran laki-laki dalam wacana membuat pentingnya konstruksi ulang terhadap banyak hal. Nurcholish Madjid menjelaskan kemungkinan mendekonstruksi berbagai hal, mulai dari simbol-simbol identitas dalam berpakaian, poligami, hak waris yang hampir semuanya berakar pada interpretasi teks. Sedangkan Nori Andriyani yang meneropong hubungan antara filsafat dengan feminisme memandang teori-teori feminisme bersifat membumi karena ditarik dari situasi sehari-hari dalam hubungan perempuan dan laki-laki di dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Ia memaparkan bahwa pengalaman ketertindasan perempuan, khususnya di Indonesia, tak bisa hanya dianalisis dengan satu atau dua teori. Manajer Program Yayasan Jurnal Perempuan, Adriana Venny memaparkan bagaimana teori-teori feminisme menjelaskan mengenai berbagai persoalan yang berkembang. Partisipasi politik perempuan, menurut Venny, dapat dianalisis dengan teori Feminisme Liberal. Persoalan perempuan buruh yang kerap mengalami diskriminasi upah dapat dijabarkan melalui konsep Feminisme Sosialis-Marxis, sedangkan masalah pemerkosaan, termasuk pemerkosaan massal, dapat dijabarkan lewat penjelasan Feminisme Radikal. Untuk menanggulangi kasus korban trauma, dapat dilakukan konseling dengan analisis Feminisme Psikoanalisa. "Berbicara tentang patriakisme, maka feminisme, dalam perkembangannya kemudian sibuk mendefinisikan semua hal, termasuk apakah seorang laki-laki layak mengaku dirinya feminis," sambung Venny. "Tentu saja dari sisi aliran Feminisme Radikal, gagasan ini hampir mustahil karena pendapat bahwa otak di belakang sistem masyarakat yang patriarki adalah laki-laki," kata dia. Namun, hal ini berlawanan dengan penjelasan feminisme gelombang ketiga, yang percaya bahwa laki-laki bisa menjadi feminis sebab feminisme tak bisa hanya dilihat dari tampakan penampilan, namun apa yang ada di dalam "mind". Karena itu, menurut Venny, kelompok feminis tidak identik dengan yang berselendang atau bersarung. "Menjadi feminis, sekali lagi, adalah apa yang ada dalam gagasan-gagasannya," kata Venny.
Islam dan Gerakan Perempuan
Berdiskusi tema Islam dan gerakan perempuan (feminisme) tidak bisa lepas dari sudut pandang al-Qur’an sebagai buku petunjuk samawi yang secara komprehensif dan lugas memaparkan hak asasi perempuan dan laki-laki yang sama. Hak itu meliputi hak dalam beribadah, keyakinan, pendidikan, potensi spiritual, hak sebagai manusia, dan eksistensi menyeluruh pada hampir semua sektor kehidupan. Di antara 114 surat yang terkandung di dalamnya terdapat satu surat yang didedikasikan untuk perempuan secara khusus memuat dengan lengkap hak asasi perempuan dan aturan-aturan yang mengatur bagaimana seharusnya perempuan berlaku di dalam lembaga pernikahan, keluarga dan sektor kehidupan. Surat ini dikenal dengan surat An-nisa’, dan tidak satupun surat secara khusus ditujukan kepada kaum laki-laki. Lebih jauh lagi, Islam datang sebagai revolusi yang mengeliminasi diskriminasi kaum Jahiliyah atas perempuan dengan pemberian hak warisan, menegaskan persamaan status dan hak dengan laki-laki, pelarangan nikah tanpa jaminan hukum bagi perempuan dan mengeluarkan aturan pernikahan yang mengangkat derajat perempuan masa itu dan perceraian yang manusiawi. Diskursus tentang posisi perempuan dalam Islam mendapat perhatian serius. Term perempuan (an-nisa') dalam al-Qur'an dipergunakan sebanyak 57 kali, sama dengan kata "ar-rojul" (laki-laki). Perimbangan ini selintas memberikan suatu indikasi bahwa antara kedua jenis kelamin tersebut –sungguhpun memiliki perbedaan- diperlakukan dan diperhatikan secara berimbang oleh Islam. Kesetaran ini hingga berkali-kali Allah SWT menyebutkan keduanya secara berdampingan dan berpasang-pasangan. Bahkan di beberapa hadits, Rasulullah saw justru sangat memuliakan dan menghormati perempuan. Misalnya pada saat baginda Nabi ditanya oleh seorang sahabat, "Siapa di antara manusia yang paling utama untuk dihormati? Jawab Nabi. 'ibumu', kemudian siapa lagi? Jawab Nabi 'ibumu' kemudian siapu lagi'? Jawab Nabi `ibumu'. Kemudian siapa lagi? Jawab Nabi 'bapakmu'."' (H.R. Bukhori dan Muslim). Dengan demikian, dalam Islam, eksistensi perempuan benar-benar mendapat tempat yang mulia. Perempuan adalah mitra sejajar laki-laki, tidak seperti dituduhkan oleh sementara pihak, karena sesungguhnya Islam tidak menempatkan perempuan sebagai unsur subordinat dalam pranata sosial. Kehadiran Islam justru melenyapkan diskriminasi perempaun-laki-laki. Sejarah mencatat bahwa sebelum Islam datang, posisi perempuan hanyalah sebagai obyek, bahkan sering dijadikan komoditas perbudakan dan seksual. Asumsi yang berkembang saat itu memandang perempuan sebagai penghalang kemajuan, terutama di kala peperangan. Karenanya lebih baik dikubur hidup-¬hidup bila lahir bayi perempuan. Asumsi ini diluruskan Allah SWT dalam Al-Qur'an surat al-Ahzab ayat 35. Persoalan yang mucul kemudian adalah, sungguhpun Islam telah mendasari penyadaran intergratif tentang eksistensi perempuan, namun realitas saat ini di berbagai negara yang mayoritas muslim justru menampilkan pandangan yang kontradiktif. Pemasungan hak-hak perempuan dalam berbagai sektor kehidupan, dengan dalih ajaran agama, justru sering didengung-dengungkan. Perempuan tidak berhak menjadi pemimpin, tidak boleh menduduki posisi-posisi strategis, haram menuntut hak-hak sosial politik dan lain sebagainya. Jelas hal ini suatu distorsi terhadap ajaran Islam. Maka bergantilah era represif masa pra-Islam berlalu dengan kedatangan agama nabi Muhammad saw. yang mengembalikan perempuan sebagai manusia utuh setelah mengalami hidup dalam kondisi yang mengenaskan tanpa kredibilitas apapun dan hanya sebagai komoditi tanpa nilai. Penghargaan Islam atas eksistensi perempuan ditauladankan dalam sisi-sisi kehidupan nabi Muhammad saw. terhadap istri-istri beliau, anak maupuan hubungan beliau dengan perempuan di masyarakatnya. Kondisi dinamis perempuan masa risalah tercermin dalam kajian-kajian yang dipimpin langsung Rasulullah yang melibatkan para sahabat dan perempuan dalam satu majlis. Terlihat jelas bagaimana perempuan masa itu mendapatkan hak untuk menimba ilmu, mengkritik, bersuara, berpendapat dan atas permintaan muslimah sendiri meminta Rasul satu majlis terpisah untuk mendapat kesempatan lebih banyak berdialog dan berdiskusi dengan Rasulullah. Terlihat juga dari geliat aktifitas perempuan sahabat rasullullah dalam panggung bisnis, politik, pendidikan, keagamaan dan sosial, dan ikut serta dalam peperangan dengan sektor yang mereka mampu melakukan. Sirah kehidupan istri-istri Rasul pun mengindikasikan aktifitas aktif dimana Ummul mukminin Khadijah ra. adalah salah satu kampiun bisnis pada masa itu, Aisyah ra. adalah perawi hadis dan banyak memberikan fatwa karena kecerdasannya. Bahkan hawa feminispun telah terdengar dari suara-suara protes dan pertanyaan yang diajukan Ummu Salamah ra. atas eksistensi perempuan. Dari sini terlihat bahwa era risalah telah mengubur masa penetrasi kaum laki-laki atas wanita dan mengganti dengan masa yang lebih segar bagi perjalanan hidup perempuan selanjutnya. Sejarah awal Islam telah memaparkan kenyatan bahwa Islam justru mendorong dan mengangkat kemuliaan perempuan yang belum pernah diberikan sebelumnya oleh suku bangsa manapun sebelumnya dan peradaban tua sebelum Islam. Meski demikian hal di atas tidak membebaskan Islam dari stereotip Barat tentang perlakuan institusi ini terhadap perempuan. Dimana perempuan dikebiri hak asasinya untuk maju dan berkembang, melakukan aktifitas di luar rumah, mengaktualisasikan kemampuannya dan terhalangi oleh aturan-aturan kaku Islam yang justru mendorong perempuan untuk terjerat dalam mata rantai tugas-tugas domistik dari dapur, sumur, kasur, mengurus anak dan hal-hal yang jauh dari penghargaan. Terjadinya kasus tindak kekerasan yang minimpa kaum wanita, tidak adanya perlindungan kerja dan kecilnya peluang pertisipasi perempuan di sektor politik, pelayanan publik dan fasilitas khusus untuk perempuan dalam pendidikan, kesehatan, dan sosial. Ditambah lagi dengan himpitan kenyataan nasib kaum perempuan di banyak negara yang secara representatif mewakili dunia Islam seperti Saudi Arabia, Sudan, Pakistan, Bangladesh, Afghanistan, Iran dan lain sebagainya. Stereotip ini terus menguat dengan penerbitan-penerbitan novel dan kisah tragis perempuan di negara-negara tersebut yang diperlakukan muslim dengan semena-mena yang menjamur di pasaran seperti "The Princess, Daughter of Arabia, Beyond The Veil, Without Mercy" dan masih banyak lagi. Terhadap hal ini, telah terjadi kerancuan dalam memandang Islam itu sendiri karena pada saat diskursus perempuan dilontarkan maka masalah yang munculpun bermuara pada hal-hal esensial berkaitan dengan perempuan yaitu pernikahan, keluarga, perceraian, pakaian, hak waris, hak persaksian di pengadilan, dan pendidikan. Maka kecenderungan untuk menuju titik krusial tersebut harus dispesifikasikan pada tatanan Islam dan dari mana perpektif yang dibawa dalam melihat bangunan tersebut. Apakah Islam dilihat secara holistik atau sekedar parsial dengan mengedepankan fenomena yang terjadi di negara-negara Islam, atau dengan Islam sebagai cara pandang hidup, atau Islam dengan kualitas implementasi risalah yang belum sempurna. Hingga yang terjadi bukan justifikasi pendzaliman Islam atas perempuan dengan menilik kenyataan dominasi laki-laki sebagaimana terjadi di negara-negara Islam tersebut. Dan pada perjalanan selanjutnya, terhadap aturan dan status yang diberikan Islam kepada perempuan terdapat fungsi dan ekses-ekses yang positif di masyarakat dimana poin-poin di atas dalam prespektif Islam mempunyai tafsiran yang tentu perlu kejelian dalam mengartikan dan meginterpretasikan hal-hal yang tidak sesuai dengan nilai matematis suatu nominal. Dus, Barat selayaknya lebih dalam mengkaji bangunan Islam dan menjauhkan tendensi negatif dalam memandang aturan ini, apalagi jika tesis-tesis dan kritikan tersebut berangkat dari ketidakfahaman dan keengganan mencari kebenaran. Tapi umat Islam pun tidak bisa menutup mata bahwa kenyataan yang ada akan melahirkan stereotip-stereotip negatif, karena amat berat jika keagungan aturan tidak dibarengi dengan implementasi yang riil dari para penganutnya. Dan bila yang terjadi adalah kesalahan dalam membaca bahasa agama, dengan menginterpretasikan suatu aturan secara subjektif, menghilangkan pesan yang dibawa dan justru menyembunyikan keotentikan pesan dengan manipulasi ajaran diganti dengan kultur-kultur yang merugikan kaum perempuan maka umat Islam pun perlu meri-orientasikan langkah-langkahnya tanpa mengedepankan sikap reaksioner menghalau perspektif negatif Barat terhadap Islam. Namun, justru mereintrepretasi dan mengakui dengan terbuka bahwa umat Islam belum mampu membaca pesan agama dan mempunyai komitmen yang utuh terhadap ajarannya, yang terbukti dengan mencampuradukan kultur hegemoni atas perempuan dengan meminjam nama agama. Telah dipaparkan diatas bagaimana sejarah Islam dan aturan yang dibawa ingin memberikan hak dan kemerdekaan perempuan, mendorong perempuan untuk maju, berkarya mendapat perlindungan. Tentu hal ini tidak berbeda dengan deklarasi dan tuntutan yang diajukan feminisme atau pejuang hak asasi perempuan di berbagai belahan manapun dan masa kapanpun jika bentuk tuntutan itu adalah persamaan hak yang mengedepankan pengertian dan kesadaran bahwa perempuan dan laki-laki adalah sama hak dan kewajibannya, hanya seksis, biologis dan rerpoduktiflah yang membedakan keduanya. Bila demikian tinggal bagaimana umat Islam benar-benar ingin tampil elegan dan menepis stereotip yang ada dengan sikap proaktif atau tidak? Lalu mengapa muslimah enggan maju? Masih adakah kungkungan psikologis dan kultur yang menghalangi? Bukankah Islam telah menancapkan kakinya sebagai suporter terbesar dan backing gerakan feminisme dari era risalah hingga masa kini. Tentunya, kita perlu upaya dan karya riil terhadap permasalahan ini Menurut Asghar Ali Engineer, seorang pemikir dan teolog Islam dari India, Al-Qur'an secara normatif menegaskan konsep kesetaraan status laki-laki dan perempuan (Yunahar llyas, 1997: 3). Konsep kesetaraan itu mengisyaratkan dua hal. Pertama, dalam pengertiannya yang umum, ini berarti menerima martabat kedua jenis kelamin dalam ukuran yang sama. Kedua, orang harus mangetahui bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai hak-hak yang setara dalam biding sosial, ekonomi dan politik. Sementara menurut Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, Meutia Hatta Swasono, banyak peluang perempuan untuk maju sering terkendala dengan alasan ajaran agama. Hal itu terlihat dari masih banyaknya praktik-praktik kekerasan atau pelecehan yang dilakukan oleh pihak-pihak yang merasa lebih kuat dan lebih berkuasa kepada pihak-pihak yang lemah, khususnya kaum perempuan dan anak-anak. "Walau ajaran agama mana pun telah menempatkan kaum perempuan sebagai mahluk mulia, namun dalam kenyataannya tidak semua umat beragama mengamalkan ajaran agamanya dengan benar dan seharusnya," kata Meutia dalam peluncuran buku "Kesetaraan dan Keadilan Gender dalam Perspektif Islam" di Jakarta, Senin (11/4). Meutia mengutip satu paragraf pendapat KH Husein Muhammad -seorang kiai yang sangat peka dalam masalah gender- yang dengan gamblang menjelaskan persoalan agama yang dikaitkan dengan ketidakadilan gender. Yakni, soal keharusan menerapkan syariat Islam yang pernah berjalan indah "di masa lalu di sana". "Menurut Kiai Husein Muhammad, problem kekinian dijawab dengan problem masa lalu di sana, meski tidak pernah memiliki pengetahuan yang cukup tentang apa yang berlangsung pada syariat Islam masa lalu di sana itu. Bahkan, tanpa pernah jelas, apakah syariat Islam masa lalu di sana yang indah itu benar-benar agama atau sesungguhnya budaya yang mendapat legitimisasi nilai-nilai agama," kata Meutia. Pada sisi lain, Menneg PP menambahkan, mencari jawaban dari "masa lalu di sana" untuk "masa kini di sini" juga tidak terlalu mudah karena "masa lalu di sana" ternyata juga mempunyai warna-warni. Kesulitan itu bukan saja dalam mencari produk-produknya, melainkan juga paradigma-paradigmanya yang tidak tunggal. Melihat kenyataan seperti itu, Meutia menilai perlunya berbagai masukan seputar kesetaraan gender yang dipandang dari sudut agama, agar dapat memberi kejelasan tentang kedudukan dan peran perempuan sebagai warga Indonesia yang mempunyai kedudukan sama dengan kaum laki-laki di mata hukum dan pemerintahan. "Salah satunya melalui buku yang diterbitkan oleh tim dari Kantor Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Dr Noryamin Aini, pakar gender dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta," katanya. Buku tersebut merupakan hasil review dari buku materi pokok kesetaraan dan keadilan gender edisi kedua tahun 2001 yang diharapkan dapat memberikan masukan terhadap pihak yang peduli pada upaya pemberdayaan perempuan di Indonesia. Noryamin menilai, pernyataan negatif bahwa agama menghalangi gerak kaum perempuan bisa terjadi terutama disebabkan masih kuatnya adat istiadat, tradisi dan nilai-nilai sosial budaya yang bersifat patriarkis. Budaya patriarki adalah sistem nilai dan cara pandang hidup yang menempatkan kaum laki-laki dan perempuan pada kedudukan dan peran yang berbeda. Formalisasi syariat Islam juga telah menjebak keluasan ajaran Islam yang mengajak pemeluknya untuk lebih arif dalam bersikap kepada kaum perempuan. Ajakan untuk memahami relasi gender bukan satu refleksi dari gugatan, apalagi pemberontakan kaum perempuan terhadap laki-laki. "Karena itu, tuduhan miring bahwa institusi agama, apalagi ajaran dasarnya, tidak berpihak pada kaum perempuan harus diluruskan," katanya menegaskan. Karena hal itu, menurut Noryamin Aini, merupakan satu bentuk penistaan agama. Tidak ada agama, terutama Islam, yang mendiskreditkan apalagi membenci kaum perempuan. "Islam sangat menghormati kemartabatan serta kehormatan kaum perempuan. Alhasil, segala bentuk pencitraan dan perlakuan negatif terhadap kaum perempuan pasti merupakan penyimpangan dari pesan dasar Islam," ucap Nooryamin. Ditambahkannya, Islam justru menawarkan prinsip-prinsip ajaran dasar yang sangat potensial untuk meningkatkan kualitas keadilan dan kesetaraan gender. Keadilan dan kesetaraan di depan Allah merupakan ajaran dasar Islam dan menjadi dambaan setiap orang. "Namun, fakta di lapangan memang memperlihatkan bahwa keadilan dan kesetaraan gender itu belum sepenuhnya dapat diwujudkan dalam kehidupan keseharian," kata pria yang menempuh pendidikan doktoralnya di Australia ini.
Update : 20 / Juli / 2006
Edisi 22 Th. 2-2005M/1426H
Diskursus persamaan hak antara laki-laki dan perempuan (gender) dalam agenda ideologi gerakan perempuan saat ini (feminisme kontemporer0) banyak memfokuskan pada persamaan hak, partisipasi perempuan dalam kerja, pendidikan, kebebasan seksual maupun hak reproduksi. Sejak abad 17 hingga 21 perjuangan feminis telah mencapai pasang surut dan mengalami perluasan wilayah tuntutan dan agenda perjuangan yang jauh lebih rumit bahkan menuntut satu studi khusus terhadap wacana ini. Dari kubu pro dan kontra feminisme, dari kritikan dan kecaman yang terlontar, Islam diantaranya yang paling mendapat banyak sorotan dalam kaitannya terhadap status dan aturan yang diberikan agama ini terhadap kaum perempuan. Hegemoni Islam terhadap perempuan muslim di negara-negara Islam terlihat jelas dalam dalam praktek keseharian di panggung kehidupan, dimana kaum perempuan mendapat kesulitan dalam bergaul, mengekpresikan kebebasan individunya, terkungkung oleh aturan yang sangat membatasi ruang kerja dan gerak dinamisnya, bahkan suaranyapun tidak berarti layaknya seorang warga negara atau anggota masyarakat atau hak seorang inddividu. Fenomena ini terlihat jelas di negara-negara ketiga (baca: berkembang) yang notabenenya adalah negara Islam. Namun benarkah demikian? atau justru Islam yang menginspirasikan munculnya gerakan feminisme masa lalu dan menyuarakan persamaan hak antar laki-laki dan perempuan yang hidup dalam kondisi kronis pada masa itu? Gerakan feminisme telah membuka mata banyak orang dan menyadarkan wanita bahwa memang selama ini penindasan terhadap kaum wanita di Indonesia terjadi di mana-mana. Disadari atau tidak, pemerintah pun terlibat di dalamnya. Ini terjadi karena perbedaan perlakuan terhadap kaum wanita sudah ditanam sejak usia dini dan dilakukan tanpa sadar oleh orang tua. Gerakan feminisme bukanlah suatu gerakan untuk menandingi ataupun mengganti kekuatan pria, tapi gerakan yang meminta kesetaraan antara pria dan wanita. Ibu Agnes dan Maya pun setuju tentang hal ini. Posisi kaum wanita sudah lebih baik ketika disahkannya UU KDRT (Kerukunan Dalam Rumah Tangga). Namun RUU Anti-Pornografi dan Pornoaksi yang sedang berusaha digolkan oleh Golkar, dipertimbangkan sebagai pemasungan kembali peran wanita di dalam masyarakat dan kali ini dengan memakai ajaran agama Islam sebagai pembenaran. Agama Islam datang untuk membebaskan roh manusia dari belenggu-belenggu duniawi yang salah-satunya adalah ketidakadilan. Tapi pada kenyataannya, ajaran Islam ditafsirkan secara tekstual untuk dijadikan pembenaran bagi penindasan pada kaum wanita. Ini sangat menyesatkan dan sangat disayangkan. Agnes Sri Purbasari, pengajar di Fakultas Ilmu Budaya Jurusan Filsafat UI, menjelaskan bahwa dalam melihat suatu persoalan kita harus tahu dari sudut pandang mana kita membahas. Dari sudut realitas, memang tidak bisa digeneralisasi bahwa semua wanita yang berprofesi sebagai PSK, kawin kontrak atau dipoligami adalah korban, tapi bila dari sudut analisis, diskusi kali bertujuan mengkaitkan putusnya hubungan kaum wanita dengan nation-state (negara) berakibat dengan usaha kaum wanita di Indonesia untuk mengatasi keterpurukan ekonomi dengan mencoreng nama Indonesia di mata dunia internasional. Bahwa Feminisme bukan merupakan gerakan perempuan liar makin jelas ketika Anne menjelaskan setiap pandangan aliran feminisme. Feminisme liberal menekankan hak-hak sipil, memandang hak kaum perempuan bebas mengambil keputusan atas seksualitasnya dan hak reproduksi mereka. Feminisme kultural disebut pula feminisme reformatif dan feminisme romantis. Feminisme kultural mengaitkan nilai kehidupan dengan nilai tradisional perempuan, seperti bela rasa, pengasuhan, pengelolaan lingkungan hidup, dan nilai kemanusiaan yang menekankan moral. Feminisme radikal menekankan penghapusan merajalelanya dominasi laki-laki terhadap kehidupan. Dimulai dari dominasi laki-laki terhadap perempuan, kemudian muncul berbagai dominasi berbasis kekuasaan. Feminisme sosialis menekankan dominasi laki-laki kapitalis berkulit putih dalam perjuangan keadilan ekonomi global. Penjelasan Anne aliran feminisme dari gelombang pertama sampai gelombang ketiga makin jelas ketika dikaitkan dengan gerakan moral dari feminisme gelombang ke tiga, spiritual feminisme dan ekofeminisme. Sementara feminisme dalam filsafat diutarakan Dr. Gadis Arivia dalam buku Filsafat Berperspektif Feminis. Dia mengungkapkan beberapa contoh pandangan laki-laki filsuf abad modern tentang perempuan, yang berhulu pada pemikiran-pemikiran filsuf sebelumnya, dapat ditandai dengan maraknya usaha menampilkan ulang representasi perempuan filsuf yang berbicara bukan saja tentang perempuan, tetapi pemikirannya tentang filsafat. Pada tahap ini, ada semacam usaha untuk menunjukkan suara-suara feminis atas pembahasan filsafat. Namun, ini saja masih belum cukup. Maka muncul bukan saja feminisme dalam filsafat, tetapi usaha untuk mengonstruksi filsafat agar dapat menghasilkan filsafat yang feminis. Gadis mengatakan bahwa munculnya diskriminasi yang merendahkan kaum perempuan beserta seluruh pengalaman dan pemikirannya berakar sekitar sepuluh ribu tahun lalu, sejak millenium keempat Sebelum Masehi. Pada saat itu laki-laki mulai membangun apa yang dinamakan patriark-supremasi laki-laki. Dalam karyanya "A Discourse on Political Economy" (1755), filsuf Jean Jacques Rousseau secara konsisten memandang perempuan sebagai makhluk inferior dan tersubordinasi. Tujuan hidup mereka hanya untuk melayani laki-laki. Karena itu, mereka tidak mungkin atau tidak dapat menjadi pemimpin. Arthur Schoupenhauer yang karyanya "On the Freedom of the Human Will" (1839) mendapat penghormatan tertinggi dari Masyarakat Ilmiah Kerajaan Swedia, bahkan sangat populer dan memiliki banyak pengikut perempuan. Padahal oleh para feminis abad ke-20, ia dianggap sebagai misoginis klasik. Schoupenhauer mengombinasikan hampir semua aspek negatif perempuan dari pemikir-pemikir terdahulu, dan selanjutnya menambahkan ide-idenya sendiri tentang perempuan, yang tentu saja semakin memperkuat pemikiran misoginis yang terdahulu. Pemikiran-pemikiran itu, dengan caranya sendiri, merembes ke dalam seluruh ajaran dan sistem nilai masyarakat di seluruh dunia, yang melahirkan feodalisme dan kolonialisme, khususnya di dalam cara berpikir. Pemikiran-pemikiran seperti itulah, kata Gadis, yang menyebabkan kekerasan terhadap perempuan menjadi bukan sesuatu yang aneh. Institusi mana pun menoleransi perlakuan misoginis (kebencian terhadap perempuan), dalam banyak kasus bahkan mendukungnya. Sikap misoginis juga mengemuka dalam bahasa, yang digunakan dengan ringannya, mulai dari mereka yang menguasai senjata sampai pekerja seni, dan kemudian diadaptasi menjadi sesuatu yang biasa dalam kehidupan sehari-hari. Sementara Dr. Haryatmoko, dosen Pascasarjana Filsafat Universitas Indonesia mengatakan, bahwa dominasi (pemikiran) laki-laki melalui wacana lebih berat karena korban, secara sadar atau tidak sadar ikut menyetujui kekerasan simbolis yang menindas dirinya. Seorang artis yang akan menikah, misalnya, kata Haryatmoko memberi contoh, dengan ringan mengatakan, "suami saya mengizinkan saya untuk terus menekuni karier sebagai artis" dan sebagian besar pembacanya setuju dengan pernyataan tersebut, bahkan menganggap artis itu hebat. Ini semakin mendukung kekerasan simbolis tersebut. Adapun Myra Diasi MA, feminis, aktivis, dan anggota Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengatakan bahwa analisis filsafat para feminis, seperti Catherina Cockburn, Mary Wollstonecraft dan Rosemary Putnam-Tong, Allison Jaggar dan Marilyn French terasa lebih longgar dibanding analisis pemikiran para laki-laki filsuf mengenai perempuan. "Telaah filosofis feminismenya terasa lebih longgar, sementara di bagian depan, sangat ketat," ujarnya. Dominasi pemikiran laki-laki dalam wacana membuat pentingnya konstruksi ulang terhadap banyak hal. Nurcholish Madjid menjelaskan kemungkinan mendekonstruksi berbagai hal, mulai dari simbol-simbol identitas dalam berpakaian, poligami, hak waris yang hampir semuanya berakar pada interpretasi teks. Sedangkan Nori Andriyani yang meneropong hubungan antara filsafat dengan feminisme memandang teori-teori feminisme bersifat membumi karena ditarik dari situasi sehari-hari dalam hubungan perempuan dan laki-laki di dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Ia memaparkan bahwa pengalaman ketertindasan perempuan, khususnya di Indonesia, tak bisa hanya dianalisis dengan satu atau dua teori. Manajer Program Yayasan Jurnal Perempuan, Adriana Venny memaparkan bagaimana teori-teori feminisme menjelaskan mengenai berbagai persoalan yang berkembang. Partisipasi politik perempuan, menurut Venny, dapat dianalisis dengan teori Feminisme Liberal. Persoalan perempuan buruh yang kerap mengalami diskriminasi upah dapat dijabarkan melalui konsep Feminisme Sosialis-Marxis, sedangkan masalah pemerkosaan, termasuk pemerkosaan massal, dapat dijabarkan lewat penjelasan Feminisme Radikal. Untuk menanggulangi kasus korban trauma, dapat dilakukan konseling dengan analisis Feminisme Psikoanalisa. "Berbicara tentang patriakisme, maka feminisme, dalam perkembangannya kemudian sibuk mendefinisikan semua hal, termasuk apakah seorang laki-laki layak mengaku dirinya feminis," sambung Venny. "Tentu saja dari sisi aliran Feminisme Radikal, gagasan ini hampir mustahil karena pendapat bahwa otak di belakang sistem masyarakat yang patriarki adalah laki-laki," kata dia. Namun, hal ini berlawanan dengan penjelasan feminisme gelombang ketiga, yang percaya bahwa laki-laki bisa menjadi feminis sebab feminisme tak bisa hanya dilihat dari tampakan penampilan, namun apa yang ada di dalam "mind". Karena itu, menurut Venny, kelompok feminis tidak identik dengan yang berselendang atau bersarung. "Menjadi feminis, sekali lagi, adalah apa yang ada dalam gagasan-gagasannya," kata Venny.
Islam dan Gerakan Perempuan
Berdiskusi tema Islam dan gerakan perempuan (feminisme) tidak bisa lepas dari sudut pandang al-Qur’an sebagai buku petunjuk samawi yang secara komprehensif dan lugas memaparkan hak asasi perempuan dan laki-laki yang sama. Hak itu meliputi hak dalam beribadah, keyakinan, pendidikan, potensi spiritual, hak sebagai manusia, dan eksistensi menyeluruh pada hampir semua sektor kehidupan. Di antara 114 surat yang terkandung di dalamnya terdapat satu surat yang didedikasikan untuk perempuan secara khusus memuat dengan lengkap hak asasi perempuan dan aturan-aturan yang mengatur bagaimana seharusnya perempuan berlaku di dalam lembaga pernikahan, keluarga dan sektor kehidupan. Surat ini dikenal dengan surat An-nisa’, dan tidak satupun surat secara khusus ditujukan kepada kaum laki-laki. Lebih jauh lagi, Islam datang sebagai revolusi yang mengeliminasi diskriminasi kaum Jahiliyah atas perempuan dengan pemberian hak warisan, menegaskan persamaan status dan hak dengan laki-laki, pelarangan nikah tanpa jaminan hukum bagi perempuan dan mengeluarkan aturan pernikahan yang mengangkat derajat perempuan masa itu dan perceraian yang manusiawi. Diskursus tentang posisi perempuan dalam Islam mendapat perhatian serius. Term perempuan (an-nisa') dalam al-Qur'an dipergunakan sebanyak 57 kali, sama dengan kata "ar-rojul" (laki-laki). Perimbangan ini selintas memberikan suatu indikasi bahwa antara kedua jenis kelamin tersebut –sungguhpun memiliki perbedaan- diperlakukan dan diperhatikan secara berimbang oleh Islam. Kesetaran ini hingga berkali-kali Allah SWT menyebutkan keduanya secara berdampingan dan berpasang-pasangan. Bahkan di beberapa hadits, Rasulullah saw justru sangat memuliakan dan menghormati perempuan. Misalnya pada saat baginda Nabi ditanya oleh seorang sahabat, "Siapa di antara manusia yang paling utama untuk dihormati? Jawab Nabi. 'ibumu', kemudian siapa lagi? Jawab Nabi 'ibumu' kemudian siapu lagi'? Jawab Nabi `ibumu'. Kemudian siapa lagi? Jawab Nabi 'bapakmu'."' (H.R. Bukhori dan Muslim). Dengan demikian, dalam Islam, eksistensi perempuan benar-benar mendapat tempat yang mulia. Perempuan adalah mitra sejajar laki-laki, tidak seperti dituduhkan oleh sementara pihak, karena sesungguhnya Islam tidak menempatkan perempuan sebagai unsur subordinat dalam pranata sosial. Kehadiran Islam justru melenyapkan diskriminasi perempaun-laki-laki. Sejarah mencatat bahwa sebelum Islam datang, posisi perempuan hanyalah sebagai obyek, bahkan sering dijadikan komoditas perbudakan dan seksual. Asumsi yang berkembang saat itu memandang perempuan sebagai penghalang kemajuan, terutama di kala peperangan. Karenanya lebih baik dikubur hidup-¬hidup bila lahir bayi perempuan. Asumsi ini diluruskan Allah SWT dalam Al-Qur'an surat al-Ahzab ayat 35. Persoalan yang mucul kemudian adalah, sungguhpun Islam telah mendasari penyadaran intergratif tentang eksistensi perempuan, namun realitas saat ini di berbagai negara yang mayoritas muslim justru menampilkan pandangan yang kontradiktif. Pemasungan hak-hak perempuan dalam berbagai sektor kehidupan, dengan dalih ajaran agama, justru sering didengung-dengungkan. Perempuan tidak berhak menjadi pemimpin, tidak boleh menduduki posisi-posisi strategis, haram menuntut hak-hak sosial politik dan lain sebagainya. Jelas hal ini suatu distorsi terhadap ajaran Islam. Maka bergantilah era represif masa pra-Islam berlalu dengan kedatangan agama nabi Muhammad saw. yang mengembalikan perempuan sebagai manusia utuh setelah mengalami hidup dalam kondisi yang mengenaskan tanpa kredibilitas apapun dan hanya sebagai komoditi tanpa nilai. Penghargaan Islam atas eksistensi perempuan ditauladankan dalam sisi-sisi kehidupan nabi Muhammad saw. terhadap istri-istri beliau, anak maupuan hubungan beliau dengan perempuan di masyarakatnya. Kondisi dinamis perempuan masa risalah tercermin dalam kajian-kajian yang dipimpin langsung Rasulullah yang melibatkan para sahabat dan perempuan dalam satu majlis. Terlihat jelas bagaimana perempuan masa itu mendapatkan hak untuk menimba ilmu, mengkritik, bersuara, berpendapat dan atas permintaan muslimah sendiri meminta Rasul satu majlis terpisah untuk mendapat kesempatan lebih banyak berdialog dan berdiskusi dengan Rasulullah. Terlihat juga dari geliat aktifitas perempuan sahabat rasullullah dalam panggung bisnis, politik, pendidikan, keagamaan dan sosial, dan ikut serta dalam peperangan dengan sektor yang mereka mampu melakukan. Sirah kehidupan istri-istri Rasul pun mengindikasikan aktifitas aktif dimana Ummul mukminin Khadijah ra. adalah salah satu kampiun bisnis pada masa itu, Aisyah ra. adalah perawi hadis dan banyak memberikan fatwa karena kecerdasannya. Bahkan hawa feminispun telah terdengar dari suara-suara protes dan pertanyaan yang diajukan Ummu Salamah ra. atas eksistensi perempuan. Dari sini terlihat bahwa era risalah telah mengubur masa penetrasi kaum laki-laki atas wanita dan mengganti dengan masa yang lebih segar bagi perjalanan hidup perempuan selanjutnya. Sejarah awal Islam telah memaparkan kenyatan bahwa Islam justru mendorong dan mengangkat kemuliaan perempuan yang belum pernah diberikan sebelumnya oleh suku bangsa manapun sebelumnya dan peradaban tua sebelum Islam. Meski demikian hal di atas tidak membebaskan Islam dari stereotip Barat tentang perlakuan institusi ini terhadap perempuan. Dimana perempuan dikebiri hak asasinya untuk maju dan berkembang, melakukan aktifitas di luar rumah, mengaktualisasikan kemampuannya dan terhalangi oleh aturan-aturan kaku Islam yang justru mendorong perempuan untuk terjerat dalam mata rantai tugas-tugas domistik dari dapur, sumur, kasur, mengurus anak dan hal-hal yang jauh dari penghargaan. Terjadinya kasus tindak kekerasan yang minimpa kaum wanita, tidak adanya perlindungan kerja dan kecilnya peluang pertisipasi perempuan di sektor politik, pelayanan publik dan fasilitas khusus untuk perempuan dalam pendidikan, kesehatan, dan sosial. Ditambah lagi dengan himpitan kenyataan nasib kaum perempuan di banyak negara yang secara representatif mewakili dunia Islam seperti Saudi Arabia, Sudan, Pakistan, Bangladesh, Afghanistan, Iran dan lain sebagainya. Stereotip ini terus menguat dengan penerbitan-penerbitan novel dan kisah tragis perempuan di negara-negara tersebut yang diperlakukan muslim dengan semena-mena yang menjamur di pasaran seperti "The Princess, Daughter of Arabia, Beyond The Veil, Without Mercy" dan masih banyak lagi. Terhadap hal ini, telah terjadi kerancuan dalam memandang Islam itu sendiri karena pada saat diskursus perempuan dilontarkan maka masalah yang munculpun bermuara pada hal-hal esensial berkaitan dengan perempuan yaitu pernikahan, keluarga, perceraian, pakaian, hak waris, hak persaksian di pengadilan, dan pendidikan. Maka kecenderungan untuk menuju titik krusial tersebut harus dispesifikasikan pada tatanan Islam dan dari mana perpektif yang dibawa dalam melihat bangunan tersebut. Apakah Islam dilihat secara holistik atau sekedar parsial dengan mengedepankan fenomena yang terjadi di negara-negara Islam, atau dengan Islam sebagai cara pandang hidup, atau Islam dengan kualitas implementasi risalah yang belum sempurna. Hingga yang terjadi bukan justifikasi pendzaliman Islam atas perempuan dengan menilik kenyataan dominasi laki-laki sebagaimana terjadi di negara-negara Islam tersebut. Dan pada perjalanan selanjutnya, terhadap aturan dan status yang diberikan Islam kepada perempuan terdapat fungsi dan ekses-ekses yang positif di masyarakat dimana poin-poin di atas dalam prespektif Islam mempunyai tafsiran yang tentu perlu kejelian dalam mengartikan dan meginterpretasikan hal-hal yang tidak sesuai dengan nilai matematis suatu nominal. Dus, Barat selayaknya lebih dalam mengkaji bangunan Islam dan menjauhkan tendensi negatif dalam memandang aturan ini, apalagi jika tesis-tesis dan kritikan tersebut berangkat dari ketidakfahaman dan keengganan mencari kebenaran. Tapi umat Islam pun tidak bisa menutup mata bahwa kenyataan yang ada akan melahirkan stereotip-stereotip negatif, karena amat berat jika keagungan aturan tidak dibarengi dengan implementasi yang riil dari para penganutnya. Dan bila yang terjadi adalah kesalahan dalam membaca bahasa agama, dengan menginterpretasikan suatu aturan secara subjektif, menghilangkan pesan yang dibawa dan justru menyembunyikan keotentikan pesan dengan manipulasi ajaran diganti dengan kultur-kultur yang merugikan kaum perempuan maka umat Islam pun perlu meri-orientasikan langkah-langkahnya tanpa mengedepankan sikap reaksioner menghalau perspektif negatif Barat terhadap Islam. Namun, justru mereintrepretasi dan mengakui dengan terbuka bahwa umat Islam belum mampu membaca pesan agama dan mempunyai komitmen yang utuh terhadap ajarannya, yang terbukti dengan mencampuradukan kultur hegemoni atas perempuan dengan meminjam nama agama. Telah dipaparkan diatas bagaimana sejarah Islam dan aturan yang dibawa ingin memberikan hak dan kemerdekaan perempuan, mendorong perempuan untuk maju, berkarya mendapat perlindungan. Tentu hal ini tidak berbeda dengan deklarasi dan tuntutan yang diajukan feminisme atau pejuang hak asasi perempuan di berbagai belahan manapun dan masa kapanpun jika bentuk tuntutan itu adalah persamaan hak yang mengedepankan pengertian dan kesadaran bahwa perempuan dan laki-laki adalah sama hak dan kewajibannya, hanya seksis, biologis dan rerpoduktiflah yang membedakan keduanya. Bila demikian tinggal bagaimana umat Islam benar-benar ingin tampil elegan dan menepis stereotip yang ada dengan sikap proaktif atau tidak? Lalu mengapa muslimah enggan maju? Masih adakah kungkungan psikologis dan kultur yang menghalangi? Bukankah Islam telah menancapkan kakinya sebagai suporter terbesar dan backing gerakan feminisme dari era risalah hingga masa kini. Tentunya, kita perlu upaya dan karya riil terhadap permasalahan ini Menurut Asghar Ali Engineer, seorang pemikir dan teolog Islam dari India, Al-Qur'an secara normatif menegaskan konsep kesetaraan status laki-laki dan perempuan (Yunahar llyas, 1997: 3). Konsep kesetaraan itu mengisyaratkan dua hal. Pertama, dalam pengertiannya yang umum, ini berarti menerima martabat kedua jenis kelamin dalam ukuran yang sama. Kedua, orang harus mangetahui bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai hak-hak yang setara dalam biding sosial, ekonomi dan politik. Sementara menurut Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, Meutia Hatta Swasono, banyak peluang perempuan untuk maju sering terkendala dengan alasan ajaran agama. Hal itu terlihat dari masih banyaknya praktik-praktik kekerasan atau pelecehan yang dilakukan oleh pihak-pihak yang merasa lebih kuat dan lebih berkuasa kepada pihak-pihak yang lemah, khususnya kaum perempuan dan anak-anak. "Walau ajaran agama mana pun telah menempatkan kaum perempuan sebagai mahluk mulia, namun dalam kenyataannya tidak semua umat beragama mengamalkan ajaran agamanya dengan benar dan seharusnya," kata Meutia dalam peluncuran buku "Kesetaraan dan Keadilan Gender dalam Perspektif Islam" di Jakarta, Senin (11/4). Meutia mengutip satu paragraf pendapat KH Husein Muhammad -seorang kiai yang sangat peka dalam masalah gender- yang dengan gamblang menjelaskan persoalan agama yang dikaitkan dengan ketidakadilan gender. Yakni, soal keharusan menerapkan syariat Islam yang pernah berjalan indah "di masa lalu di sana". "Menurut Kiai Husein Muhammad, problem kekinian dijawab dengan problem masa lalu di sana, meski tidak pernah memiliki pengetahuan yang cukup tentang apa yang berlangsung pada syariat Islam masa lalu di sana itu. Bahkan, tanpa pernah jelas, apakah syariat Islam masa lalu di sana yang indah itu benar-benar agama atau sesungguhnya budaya yang mendapat legitimisasi nilai-nilai agama," kata Meutia. Pada sisi lain, Menneg PP menambahkan, mencari jawaban dari "masa lalu di sana" untuk "masa kini di sini" juga tidak terlalu mudah karena "masa lalu di sana" ternyata juga mempunyai warna-warni. Kesulitan itu bukan saja dalam mencari produk-produknya, melainkan juga paradigma-paradigmanya yang tidak tunggal. Melihat kenyataan seperti itu, Meutia menilai perlunya berbagai masukan seputar kesetaraan gender yang dipandang dari sudut agama, agar dapat memberi kejelasan tentang kedudukan dan peran perempuan sebagai warga Indonesia yang mempunyai kedudukan sama dengan kaum laki-laki di mata hukum dan pemerintahan. "Salah satunya melalui buku yang diterbitkan oleh tim dari Kantor Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Dr Noryamin Aini, pakar gender dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta," katanya. Buku tersebut merupakan hasil review dari buku materi pokok kesetaraan dan keadilan gender edisi kedua tahun 2001 yang diharapkan dapat memberikan masukan terhadap pihak yang peduli pada upaya pemberdayaan perempuan di Indonesia. Noryamin menilai, pernyataan negatif bahwa agama menghalangi gerak kaum perempuan bisa terjadi terutama disebabkan masih kuatnya adat istiadat, tradisi dan nilai-nilai sosial budaya yang bersifat patriarkis. Budaya patriarki adalah sistem nilai dan cara pandang hidup yang menempatkan kaum laki-laki dan perempuan pada kedudukan dan peran yang berbeda. Formalisasi syariat Islam juga telah menjebak keluasan ajaran Islam yang mengajak pemeluknya untuk lebih arif dalam bersikap kepada kaum perempuan. Ajakan untuk memahami relasi gender bukan satu refleksi dari gugatan, apalagi pemberontakan kaum perempuan terhadap laki-laki. "Karena itu, tuduhan miring bahwa institusi agama, apalagi ajaran dasarnya, tidak berpihak pada kaum perempuan harus diluruskan," katanya menegaskan. Karena hal itu, menurut Noryamin Aini, merupakan satu bentuk penistaan agama. Tidak ada agama, terutama Islam, yang mendiskreditkan apalagi membenci kaum perempuan. "Islam sangat menghormati kemartabatan serta kehormatan kaum perempuan. Alhasil, segala bentuk pencitraan dan perlakuan negatif terhadap kaum perempuan pasti merupakan penyimpangan dari pesan dasar Islam," ucap Nooryamin. Ditambahkannya, Islam justru menawarkan prinsip-prinsip ajaran dasar yang sangat potensial untuk meningkatkan kualitas keadilan dan kesetaraan gender. Keadilan dan kesetaraan di depan Allah merupakan ajaran dasar Islam dan menjadi dambaan setiap orang. "Namun, fakta di lapangan memang memperlihatkan bahwa keadilan dan kesetaraan gender itu belum sepenuhnya dapat diwujudkan dalam kehidupan keseharian," kata pria yang menempuh pendidikan doktoralnya di Australia ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar