Minggu, 26 Oktober 2008

Wawancara


Wawancara - Dra. Misbah Zulfa Elisabeth, M.Hum. - Perempuan harus diberi hak yang sama dengan laki-laki
Update : 20 / Juli / 2006
Edisi 22 Th. 2-2005M/1426H
Bagaimana tanggapan Anda tentang peran perempuan dalam berkiprah di ruang publik?
Sebenarnya perempuan mempunyai hak yang sama seperti laki-laki dalam berkiprah, maka jika ada perempuan yang mampu dan punya peluang dalam berkiprah, kenapa nggak? Jadi persoalannya bukan bagaimana perempuan dalam ruang publik, tapi harusnya, kenapa perempuan masih dibatasi dalam ruang publik? Jadi pembicaraanya masih dalam konsep-konsep jender dalam masyarakat kita. Masyarakat kita itu kan masih dalam konsep perempuan sebagai second class (ibu rumah tangga). Jadi konsep itu yang menjadikan kiprah mereka dalam ruang publik masih dibatasi, yang menjadikan kesan bahwa kemampuan perempuan lebih rendah dibanding laki-laki. Dan semua itu bisa kita temui dalam mitos-mitos atau teks-teks yang menerangkan tentang hal tersebut. Kemudian, karena konsep itu pula, maka perempuan tidak tersiapkan untuk masuki ruang publik, di mana sebenarnya perempuan punya peluang dalam bidang-bidang yang lebih profesional.

Upaya apa yang harus dilakukan untuk lebih memperdayakan potensi perempuan yang sekarang masih terkesan setengah-setengah?
Saya kira kalau masalah pemberdayakan perempuan itukan masalah kemanusiaan, dan antara perempuan dan laki-laki harus sama. Jadi kalau sekarang masih terkesan setengah-setengah, marilah kita ubah dengan sepenuhnya. Karena tanggung jawab secara kemanusiaan bagi perempuan itu sama dengan laki-laki. Kalau laki-laki bertanggung jawab atas istri dan anak-anaknya, maka tidak beda dengan perempuan, yang mempunyai tanggung jawab yang sama, yaitu tanggung jawab atas suami dan anak-anaknya. Begitu juga dalam ruang publik. Ya mungkin ini proses yang bertahap seperti perubahan budaya dalam masyarakat kita.

Mengenai peran perempuan dalam kancah politik, menurut Anda bagaimana?
Ya nggak apa-apa, sepanjang ia mempunyai kemampuan dalam bidang itu. Sayangnya proses pembelajaran dalam negara kita bagi kesempatan perempuan berkiprah masih dalam level memberikan plus untuk perempuan. Akhirnya untuk saat ini kita belum melihat perkembangan perempuan lebih signifikan dalam kancah politik. Maka kita kadang melihat perempuan dalam kancah politik masih belum bisa membanggakan, dan itu juga karena mereka belum tersiapkan secara matang, seperti halnya perempuan duduk dalam parlemen, itukan karena mereka dapat kuota dari daerah. Dan dia masih belum siap ketika dibawa masuk oleh partai politiknya ke parlemen. Maka secara intelektual dan kemampuan yang lain mereka belum terbiasa untuk memutuskan permasalahan-permasalahan yang terlalu rumit atau kompleks.

Jadi, konsep yang ideal bagi perempuan dalam ruang publik untuk saat ini belum maksimal?
Ya begitulah, karena seperti yang saya katakan tadi, bahwa perkembangan perempuan masih perlu proses. Kita harus menghilangkan dulu kesan bahwa perempuan harus diam, rak sah neko-neko, anteng dan sebagainya. Hal-hal tersebut menjadikan pembentukan karakter pada perempuan bisa menjadi terkengkang. Dan sekarang kita harus melakukan upaya-upaya dorongan pada mereka untuk lebih maksimal dalam kiprahnya. Maka kita harus memberi kesempatan bagi mereka untuk menyampaikan ide serta gagasan–gagasan mereka, agar mereka bisa lebih maksimal.

Dari sisi doktrin agama , bagaimana menurut Anda?
Kita berbicara budaya, maka kita tidak akan lepas dari nilai-nilai adab atau perilaku. Itu semua yang mengatur atau kembalinya pada doktrin agama, maka kita harus lebih memperluas atau mendalami lebih lanjut tentang doktrin tersebut. Seperti halnya dalam ayat-ayat yang menerangkan tentang pembatasan perempuan seperti yang sering dijadikan dalih oleh banyak kalangan "Arrijaalu qowwamuuna 'alan nisaa'. Maka kita harus memperluas makna ayat tersebut. Dan memang persoalan kekhawatiran terhadap perempuan yang berkiprah di luar rumah tangga itu tidak hanya pada diri laki-laki, tapi dari pihak perempuan juga punya kekhawatiran. Bagaimana nanti permasalahan rumah tangga kalau perempuan keluar dari rumah tangga. Dan itu juga karena proses pembelajaran awalnya perempuan memang seperti itu. Maka kita harus lebih pintar menanggapi permasalahan tersebut, maksudnya permasalahn rumah tangga itu kan kewajiban atau tanggung jawab bersama antara suami dan istri. Maka kita harus merubah tradisi atau pemikiran bahwa dalam rumah tangga itu tanggung jawab mutlak istri dan nafkah adalah tanggung jawab suami.

Bagaimana menurut Anda tentang wacana jender yang di galakkan Barat, jika diterapkan di Indonesia?
Masalah tersebut menurut saya sangat beragam, dari konservatif liberal dan sebagainya. Begitu juga jender yang perspektif Islam juga menjadi mainstream sendiri, dan itupun masih beragam. Jadi kita harus selektif dalam mempelajari jender yang berkiblat dari Barat tersebut. Jika sangat bertentangan dengan kebudayaan kita , ya kita tolak.

Di negara yang mayoritas Islam justru kiprah kaum perempuannya sangat terbatas. Bagaimana menurut Anda?
Ya memang kenyataanntya begitu. Itu semua kembali pada masalah kultur bangsa itu sendiri dan juga kita kaitkan dengan doktrin agama. Tapi sejauh ini masih dalam iklim dinamis. Kita bisa melihat di Arab, yang menurut kebebasannya itu lebih sempit dari Indonesia, tapi toh di sana iklimnya masih dinamis.

Perlukah adanya gerakan keseimbangan antara peran publik dan non publik bagi perempuan?
Ya harus ada pembelajaran. Seperti dalam pemilu kemarin untuk kaum perempuan diberi kuota sampai 30 % dan itu jika belum dipersiapkan dengan pembelajaran yang maksimal. Mungkin hasilnya juga kurang maksimal. Jadi awal dari pembelajaran tersebut harusnya dari keluraga. Pihak perempuan harus diberi hak yang sama dengan laki-laki. Potensi keduanya harus sama-sama dikembangkan. Maka perempuan akan bisa tampil sebagai dirinya, tanpa terbebani dengan batas yang sudah menjadi kultur masyarakat kita. Dari situ, perempuan akan benar-benar siap untuk tampil dalam ruang. Di samping itu pemerintah harus mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang adil bagi perempuan.

Dalam jam'iyyah NU, perempuan diberi ruang publik, seperti wadah Fatayyat, Muslimah, IPPNU. Bagaimana menurut Anda?
Memang kalu kita lihat dalam wadah tersebut, arahnya menuju pembelajaran serta pemberdayaan perempuan untuk berkiprah dalam publik. Kalau ditanya apakah wadah tersebut sudah berperan, atau sebagai struktur formal, ya jawabannya sudah berperan, dengan bukti mereka punya masa sampai di tingkat ranting.

Terakhir, apa pesan Anda sebagai seorang aktifis jender untuk kaum perempuan?
Ekspresikan saja segala kemampuannya. Dengan hal tersebut maka orang akan melihat potensi pada diri perempuan, Tapi jangan sampai meninggalkan kultur traditional yang sudah menjadi kultur perempuan Indonesia, yaitu lemah lembut, sopan dan masih memegang norma-norma leluhur, dan juga harus dalam batas-batas yang ditentukan agama.


Tidak ada komentar: