Perempuan Dalam Kancah Politik (Tinjauan Islam Terhadap Peran Politik Perempuan)
Update : 20 / Juli / 2006
Edisi 22 Th. 2-2005M/1426H
Dalam perdebatan mengenai kiprah perempuan dalam dunia politik setidaknya ada dua alasan yang sering dikemukakan sebagai larangan atas keterlibatan perempuan dalam politik, yaitu: (1) Ayat "ar-rijal qowwamuna 'ala-annisa'" (lelaki adalah pemimpin bagi kaum wanita) (QS. Al-Nisa' :34); dan (2) Hadits yang berbunyi "Laa yaflaha qoum walau amrohum imro 'ah" (tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusannya pada perempuan) Permasalahan pertama, yaitu tentang ayat "ar-rijal qowwamuna 'ala-annisa" tidak akan dibahas di sisi secara panjang lebar. Hal ini karena nash itu tidak banyak dipermasalahkan -meskipun tetap ada yang menganggap ayat ini sebagai ayat yang kontroversial. Kata "ar-rijal" dalam ayat di atas bukan berarti lelaki secara umum, tetapi adalah suami, karena konsiderans perintah tersebut seperti ditegaskan pada lanjutan ayat adalah karena mereka (para suami) menafkahkan sebagian harta untuk istri-istri mereka. Seandainya yang dimaksud dengan "lelaki" adalah kaum pria secara umum, tentu konsiderannya tidak demikian. Terlebih lagi lanjutan ayat tersebut secara jelas berbicara tentang para istri dan kehidupan rumah-tangga (M. Quraish Shihab, 2000: 314). Sedangkan menurut Asad, seorang mufasir kontemporer, perkataan "quwwam" berarti seorang yang bertanggung jawab untuk memelihara barang maupun orang. Kalimat "quwwam 'ala mar'ihi" bermakna "dia bertanggung jawab mengayomi seorang perempuan". Jadi laki-laki bertanggung jawab mengayomi perempuan yang merupakan bagian dari tanggung jawabnya (Dadang S. Anshori dkk. (ed.), 1997 : 110). Dengan demikian tidak ada pihak yang superior dan pihak yang inferior . Adapun yang akan dibahas secara lebih panjang adalah persoalan yang kedua yaitu hadits tentang kepemimpinan perempuan.
Kontroversi Kepemimpinan Perempuan
Berbicara seputar kontroversi peran perempuan dalam politik, tidak lepas dari persoalan kontroversi kepemimpinan perempuan. Hal ini karena pada dasarnya kepemimpinan perempuan merupakan puncak dari aktifitas politik perempuan. Secara lebih lengkap hadits tersebut di atas berbunyi: "Tidak akan berhasil suatu bangsa yang menyerahkan urusannya pada wanita" (HR Bukhari). (Abu Abdillah Muhammad al-Bukhari, Shohih al-Bukhari jus III, Darl al-Fikr, 1995, Him 89) Oleh sementara pihak hadits ini dipahami sebagai isyarat bahwa wanita tidak boleh manjadi pemimpin dalam urusan yang mutlak seperti kepala negara. Karena itu al-Khattabi misalnya, mengatakan bahwa seorang wanita tidak boleh menjadi khalifah. Demikian juga Al-Shaukani dalam menafsirkan hadits ini berkata bahwa wanita tidak termasuk kategori dalam kepemimpinan, sehingga tidak boleh menjadi kepala negara. Sementara itu para ulama lainnya seperti Ibnu Hazm, Al-Ghozali Kamal Ibn abi Syarif dan Kammal lbn Abi Hammam, meskipun dengan alasan yang berbeda, juga mensyaratkan laki-laki sebagai kepala negara. Bahkan Sayyid Sabiq menginformasikan tentang kesepakatan ulama (fuqaha') mengenai syarat laki-laki bagi kepala negara sebagaimana syarat sebagai seorang qadi, karena didasarkan pada hadits di atas. (Muhibbin, 1996: 75). Abu A'la Al-Maududi dalam buku "Khilafah dan Kerajaan" juga mensyaratkan pemimpin harus dari laki-laki (Abul Ala Al-Maududi, 1990: 317). Sedangkan menurut Al-Ghozali persyaratan laki-¬laki bagi seorang kepala negara didukung oleh hadits Nabi: "Para pemimpin harus dari suku Quraisy, mempunya kekuasan nyata (an-najdat), memiliki kemampuan wara' dan berilmu." (Jeje Abdul Rozak, 1999: 173). Barangkali yang dimaksud "memiliki kemampuan" dalam hal ini oleh Al-¬Ghozali ditafsirkan hanya dimiliki oleh laki-laki. Namun sebagaimana memahami hadits tentang syarat kesukuan Quraisy, dalam memahami hadits tentang kepemimpinan perempuan di atas juga harus dilihat latar belakang munculnya hadits tersebut, di samping keberadaan masyarakat pada saat itu. Oleh karena itu dalam memahami dan mengkaji hadits ini mutlak diperlukan informasi yang cukup mengenai latar belakang kejadiannya. Secara historis, latar belakang pernyataan Nabi itu sebenarnya merupakan reaksi Beliau terhadap sikap raja Kirsa (Persia) yang menyobek surat Nabi yang dikirim kepadanya secara emosional. la menolak dakwah Nabi tersebut. Mendengar berita itu kemudian Nabi bersabda sebagaimana hadits di atas. Wanita yang dimaksud dalam hadits tersebut adalah Buran Bintu Sirawaih lbn Kisra lbn Barwais yang berambisi menjadi raja menggantikan ayahnya (Kisah selengkapnya lihat Aunur Rofiq, "Kepemimpinan Wanita, Sebuah Wacana Dalam Teks Islam", IDEA edisi 15/V/2001, hal. 15). Setelah kita memahami betul "asbab al-wurud" hadits di atas, maka kata kata Nabi yang bernada menyudutkan dan mendiskriminasikan perempuan tersebut dapat dipahami. Demikian juga dapat dipahami dari sudut pandang keberadaan masyarakat pada saat itu, yakni kenyataan mengenai kedudukan wanita pada saat itu yang tidak atau belum memungkinkan untuk memimpin sebuah negara. Sehinggga juga amat wajar apabila Nabi berpendapat bahwa seorang wanita tidak akan mampu untuk memimpin negara -walaupun Nabi saw mengetahui bahwa jauh sebelum itu telah ada suatu masa di mana seorang wanita dapat memangku jabatan sebagai kepala negara, seperti Ratu Bilqis yang diceritakan oleh al-Qur'an. Dalam hal ini harus diingat bahwa sabda Nabi saw dalam masalah ini bukan dalam kapasitas beliau sebagai seorang Nabi dan Rasul yang pembicaraanya pasti benar dan dibimbing oleh wahyu, tetapi diucapkannya dalam kapasitas beliau sebagai manusia biasa yang terbatas pada pengetahuan dan pengalaman serta keberadaanya pada waktu itu. Pemahaman seperti ini didasarkan pada sebuah riwayat: "Ketiku Aku perintahkan kepadamu sesuatu tentang agamamu, maka ikutilah, tetapi jika aku perintahkan sesuatu dari pendapatku maka ketahuilah bahwa sesungguhnva mungkin salah sehinggga tidak wajib diikuti." (Muhibbin, 1996:77). Dengan demikian hadits tentang pernyataan Nabi dalam menanggapi pengangkatan putri Kisra sebagai pemimpin Persi tersebut sama sekali tidak membicarakan syarat kepala negara, namun hanya merupakan informasi mengenai pendapat Nabi yang boleh jadi merupakan do'a agar pimpinan negeri Persia tersebut tidak sukses dan jaya karena menghina dan memusuhi Islam, sebagaimana sikap dan tindakan yang pernah Beliau tunjukkan pada saat menerima kabar tentang disobeknya surat Beliau. Di samping itu kalau hadits tersebut dipahami sebagai pesan dan ketentuan dari Nabi mengenai syarat kepala negara, maka akan terasa janggal, karena peristiwa yang ditunjukkan pada hadits tersebut tidak terjadi di dunia Islam. Tidak mungkin Nabi menentukan suatu syarat bagi kepala negara muslim dengan merujuk pada fakta yang terjadi di negara non-muslim. Dan kalau hadits tersebut dipaksakan sebagai syarat bagi kepala negara, di samping tidak rasional –karena Nabi mengintervensi urusan politik negara non-muslim, juga tidak faktual. Artinya penetapan syarat kepala negara harus laki-laki, dan kalau tidak demikian maka negara tidak sukses, ternyata bertentangan dengan fakta yang ada. Negara-negara seperti Inggris, Pakistan, India, dan lain-lain pernah dipimpin oleh seorang wanita dan ternyata meraih kesuksesan. Bahkan dalam al-Qur'an pun dikisahkan tentang adanya wanita yang memimpin negara dan sukses, yaitu Ratu Bilgis di negeri Saba' (Ibid., hal.78). Ayat yang mengisahkan hal tersebut adalah: "Sesungguhnya Aku (Hud-hud) menjumpai seorang wanita (Ratu Bilqis) yang memerintahkan mereka (rakyat Saba') dan dia dianugerahi segala sesuutu sertu mempunyai singgasana yang besar." (QS. An-Naml: 23). Sementara itu dalam menanggapi hadits di atas, Prof. Dr. Nasruddin Baidan berpendapat bahwa terjemahan sebagaimana dikemukakan di atas dapat menimbulkan anggapan negatif terhadap hadis Nabi, sebab dapat memberikan pemahaman yang kontradiktif antara hadits Nabi di satu pihak dengan realitas kehidupan umat manusia di pihak lain (Nasruddin Baidan, 1999: 40). Dr. Nasruddin Baidan dalam memahami hadits tentang kepemimpinan wanita di atas lebih menggunakan pendekatan teks (lafal) bukan "ashab al-wurud". Lafal yang dipakai pada hadits itu adalah lafal umum, tidak membicarakan secara khusus tentang kepala negara. Kata "imro'ah" dan "qaum" dalam hadits itu adalah lafal "nakirah". Itu berarti lafal "qaum" dan "mar'ah" tersebut berkonotasi umum, yaitu kaum wanita siapa saja dan di mana saja, tidak tertentu untuk orang Persia saja. Demikian pula kata "amrahum" dalam hadis itu, juga berkonotasi umum, tidak khusus tentang urusan pemerintahan, tapi mencakup semua urusan yang berhubungan dengan bangsa atau orang yang dipimpin. Keumuman ini tampak dari pemakaian lafal "mufrad" (tunggal): "amrun", yang diidhofahkan kepada lafal sesudahnya, "hum". Menurut kaidah, kata tunggal bila diidhafahkan kepada "isim ma'rifat", maka ia mengandung konotasi umum (Ibid., hal. 41) Setelah memperhatikan kaidah itu kemudian diterapkan pada hadits Nabi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud Nabi "Suatu bangsa tak pernah memperoleh kesuksesan jika semua urusan bungsa itu diserahkan (sepenuhnya kebijakan) wanita sendiri (tanpa melibatkun kaum pria)", ialah jika semua urusan pemerintahan itu ditangani oleh wanita sendiri, sehingga semua bidang dan bagian di dalamnya diurus oleh wanita dan tak ada laki-laki yang diikutsertakan di dalam semua urusan tersebut. Jika demikian halnya, maka masuk akal sekali jika mereka tidak akan beruntung karena kaum wanita memang mempunyai keterbatasan manusiawi, baik secara fisik maupun psikis.
Hak-Hak Perempuan Dalam Politik
Salah satu ayat yang seringkali dikemukakan oleh para pemikir Islam dalam kaitannya dengan hak-hak politik perempuan adalah yang tertera dalam surat At-Taubah ayat 71 (M. Quraish Shihab, 1998: 273): "Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka adalah auliya' bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh untuk mengerjakan yang ma'ruf, mencegah yang munkar, mendirikan shalat, menunaikun zakat dan mereka taat kepada Allah dan Rasulnya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Bijaksana." Secara umum ayat tersebut dipahami sebagai gambaran tentang kewajiban melakukan kerjasama antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai bidang kehidupan yang dilukiskan dengan kalimat menyuruh mengerjakan yang ma''ruf dan mencegah yang munkar. Kata "auliya'” dalam pengertiannya mencakup kerjasama, bantuan dan penguasaan, sedang pengertian yang dikandung oleh "menyuruh mengerjakan yang ma'ruf" mencakup segala segi kehidupan atau perbaikan kehidupan, termasuk memberikan kritik kepada penguasa. Dengan demikian setiap laki-laki dan perempuan hendaknya mampu mengikuti perkembangan masyarakat agar masing-masing mereka mampu melihat dan memberi saran (nasihat) dalam berbagai bidang kehidupan (Ibid.). Keikutsertaan perempuan bersama dengan laki-laki dalam kandungan ayat di atas tidak dapat disangkal, sebagaimana pula tidak dapat dipisahkan kepentingan perempuan dari kandungan sabda Nabi saw: "Barang siapa yang tidak memperhatikan kepentingan (urusun) kaum muslim, maka tidak termasuk golongan mereka." Di sisi lain, al-Qur'an mengajak umatnya (laki-laki dan perempuan) untuk bermusyawarah sebagaimana ayat al-Qur'an: "Urusan mereka (selalu) diputuskun dengan musyawarah." (QS. 42:38). Ayat ini dijadikan pula sebagai dasar oleh banyak ulama untuk membuktikan adanya hak berpolitik bagi setiap laki-laki dan perempuan. Syura (musyawarah) telah menjadi satu prinsip pengelolaan bidang-bidang kehidupan bersama menurut al-Qur'an, termasuk kehidupan politik, dalam arti setiap warga masyarakat dalam kehidupan bersamanya dituntut untuk senantiasa mengadakan musyawarah. Atas dasar ini, dapat dikatakan bahwa setiap laki-laki maupun perempuan memiliki hak tersebut, karena tidak ditemukan satu ketentuan agama pun yang dapat dipahami sebagai melarang keterlibatan perempuan dalam bidang kehidupan bermasyarakat, termasuk dalam bidang politik. Bahkan sebaliknya, sejarah Islam menunjukkan betapa kaum perempuan terlibat dalam berbagai bidang kehidupan tanpa terkecuali. Kenyataan sejarah menunjukkan sekian banyak perempuan yang banyak terlibat pada persoalan politik praktis. Ummu Hani' misalnya, dibenarkan sikapnya oleh Rasulullah saw ketika memberi jaminan keamanan kepada sebagian orang musyrik (jaminan keamanan merupakan salah satu aspek bidang politik). Bahkan istri Nabi Muhammad saw sendiri yakni Aisyah r.a. memimpin langsung peperangan melawan Ali bin Abi Tholib yang ketika itu menjabat kepala negara. Dan isu terbesar dalam peperangan tersebut adalah suksesi setelah terbunuhnya khalifah Ustman. Peperangan ini dikenal dalam sejarah Islam dengan nama perang Jamal (656 M). Keterlibatan Aisyah bersama sekian banyak sahabat Nabi dan kepemimpinannya dalam perang itu menunjukkan bahwa beliau bersama pengikutnya memperbolehkan keterlibatan perempuan dalam politik praktis sekalipun.
Islam Mengajarkan Kesetaraan
Al-Qur'an dan Hadits sebagai rujukan prinsip masyarakat Islam pada dasarnya mengakui bahwa kedudukan laki-laki dan perempuan adalah sama. Keduanya diciptakan dari satu "nafs" ("living entity"), di mana yang satu tidak memiliki keunggulan terhadap yang lain. Bahkan al-Qur'an tidak menjelaskan dengan tegas bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Nabi Adam sehingga kedudukan dan statusnya lebih rendah. Atas dasar itu, prinsip al-Qur'an terhadap kaum laki-laki dan perempuan adalah sama. Dengan kata lain, laki-laki memiliki hak dan kewajiban terhadap kaum perempuan dan sebaliknya perempuan juga memiliki hak dan kewajiban terhadap laki-laki. Aspek lain yang memperlihatkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam Islam adalah tanggung jawab sosial terhadap masyarakat. Secara sosiologis, manusia merupakan makhluk bermasyarakat. Untuk itu baik muslim maupun muslimah, keduanya merupakan unsur masyarakat untuk membangun "civil society". Dalam kaitannya dengan peran politik perempuan, kita dapat berkesimpulan bahwa tidak ditemukan satu ketentuan agama pun yang dapat dipahami sebagai larangan keterlibatan perempuan dalam kancah politik, atau ketentuan agama yang membatasi bidang tersebut hanya untuk kaum laki-laki. Di sisi lain, justru cukup banyak ayat dan hadits yang dapat dijadikan dasar penetapan adanya hak-hak tersebut. Menyangkut argumentasi normatif, sudah sangat jelas bahwa penolakan kepemimpinan perempuan bukanlah satu-satunya pendapat dalam hukum Islam. Dengan melihat "ashab al-wurud" hadits dan "ashab al-nuzul" ayat al-Qur'an tentang kepemimpinan perempuan seperti telah dielaborasi oleh mufassir kontemporer Prof. Dr. M. Quraish Shihab, disimpulkan bahwa kepemimpian perempuan tidak dipersoalkan oleh Islam, sebab dasar pijakannya bukan pada perbedaan gender melainkan lebih pada potensi intelektual dan psikologis. Jadi selama memiliki potensi kepemimpinan, tak ada halangan tampilnya wanita sebagai pemimpin negara (M. Quraish Shihab, op.cit, 314). Dalam kaitan ini Ibn Taimiyah mensyaratkan kepala negara adalah orang yang mempunyai kualifikasi kekuatan ("al-quwwat") dan integritas ("al-amanah"). Pendapat ini didasarkan pada firman Allah SWT dalam surat al-Qashash ayat 26: "orang yang paling baik untuk bekerja adalah orang yang kuat lagi dipercaya" (Jeje Abdul Rozak, loc.cit.). Dengan demikian yang berbicara dalam hal ini bukan lagi soal perbedaan jenis kelamin, melainkan profesionalitas, integritas pribadi dan kecakapan serta jiwa leadership. Sejauh orang perempuan tersebut memiliki kredibilitas, kapasilitas, akuntabilitas, dan akseptabilitas yang memadai tidak ada persoalan ia menjadi pemimpin politik. Memang, tidak dapat kita pungkiri bahwa perempuan banyak menemui kendala ketika memegang posisi penting dalam sektor publik. Adanya kodrat alamiah perempuan, dari hamil, melahirkan, menyusui dan lain-lain adalah fenomena yang tidak dapat disangkal. Tetapi bukan berarti peran publik perempuan menjadi terbatas atau bahkan hilang karena faktor-faktor tersebut. Sisi lain, jika kita mau jujur, keterbelakangan dan ketertinggalan perempuan juga tidak luput dari "kesalahan" mereka sendiri. Dengan kata lain, jika sistem sudah memberikan kesempatan yang sama kepada laki-laki dan perempuan, maka jika wanita tidak mampu bersaing dan kalah yang perlu disalahkan adalah kaum perempuan itu sendiri. Hal ini sesuai dengan pendapat feminisme liberal (Mansour Fakih, 1997: 82). Itulah sebabnya usulan mereka (feminisme liberal) untuk memecahkan masalah kaum perempuan adalah dengan cara menyiapkan kaum perempuan agar bisa bersaing dengan dalam dunia yang penuh dengan persaingan bebas. Sebagian dari usaha ini dapat dilihat, misalnya, dalam program-program semacam "Women in Development" (Perempuan dalam Pembangunan), sehingga perempuan dapat ikut berpartisipasi aktif dalam kancah publik, termasuk dalam dunia politik. [Caswiyono Rusydi]
Update : 20 / Juli / 2006
Edisi 22 Th. 2-2005M/1426H
Dalam perdebatan mengenai kiprah perempuan dalam dunia politik setidaknya ada dua alasan yang sering dikemukakan sebagai larangan atas keterlibatan perempuan dalam politik, yaitu: (1) Ayat "ar-rijal qowwamuna 'ala-annisa'" (lelaki adalah pemimpin bagi kaum wanita) (QS. Al-Nisa' :34); dan (2) Hadits yang berbunyi "Laa yaflaha qoum walau amrohum imro 'ah" (tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusannya pada perempuan) Permasalahan pertama, yaitu tentang ayat "ar-rijal qowwamuna 'ala-annisa" tidak akan dibahas di sisi secara panjang lebar. Hal ini karena nash itu tidak banyak dipermasalahkan -meskipun tetap ada yang menganggap ayat ini sebagai ayat yang kontroversial. Kata "ar-rijal" dalam ayat di atas bukan berarti lelaki secara umum, tetapi adalah suami, karena konsiderans perintah tersebut seperti ditegaskan pada lanjutan ayat adalah karena mereka (para suami) menafkahkan sebagian harta untuk istri-istri mereka. Seandainya yang dimaksud dengan "lelaki" adalah kaum pria secara umum, tentu konsiderannya tidak demikian. Terlebih lagi lanjutan ayat tersebut secara jelas berbicara tentang para istri dan kehidupan rumah-tangga (M. Quraish Shihab, 2000: 314). Sedangkan menurut Asad, seorang mufasir kontemporer, perkataan "quwwam" berarti seorang yang bertanggung jawab untuk memelihara barang maupun orang. Kalimat "quwwam 'ala mar'ihi" bermakna "dia bertanggung jawab mengayomi seorang perempuan". Jadi laki-laki bertanggung jawab mengayomi perempuan yang merupakan bagian dari tanggung jawabnya (Dadang S. Anshori dkk. (ed.), 1997 : 110). Dengan demikian tidak ada pihak yang superior dan pihak yang inferior . Adapun yang akan dibahas secara lebih panjang adalah persoalan yang kedua yaitu hadits tentang kepemimpinan perempuan.
Kontroversi Kepemimpinan Perempuan
Berbicara seputar kontroversi peran perempuan dalam politik, tidak lepas dari persoalan kontroversi kepemimpinan perempuan. Hal ini karena pada dasarnya kepemimpinan perempuan merupakan puncak dari aktifitas politik perempuan. Secara lebih lengkap hadits tersebut di atas berbunyi: "Tidak akan berhasil suatu bangsa yang menyerahkan urusannya pada wanita" (HR Bukhari). (Abu Abdillah Muhammad al-Bukhari, Shohih al-Bukhari jus III, Darl al-Fikr, 1995, Him 89) Oleh sementara pihak hadits ini dipahami sebagai isyarat bahwa wanita tidak boleh manjadi pemimpin dalam urusan yang mutlak seperti kepala negara. Karena itu al-Khattabi misalnya, mengatakan bahwa seorang wanita tidak boleh menjadi khalifah. Demikian juga Al-Shaukani dalam menafsirkan hadits ini berkata bahwa wanita tidak termasuk kategori dalam kepemimpinan, sehingga tidak boleh menjadi kepala negara. Sementara itu para ulama lainnya seperti Ibnu Hazm, Al-Ghozali Kamal Ibn abi Syarif dan Kammal lbn Abi Hammam, meskipun dengan alasan yang berbeda, juga mensyaratkan laki-laki sebagai kepala negara. Bahkan Sayyid Sabiq menginformasikan tentang kesepakatan ulama (fuqaha') mengenai syarat laki-laki bagi kepala negara sebagaimana syarat sebagai seorang qadi, karena didasarkan pada hadits di atas. (Muhibbin, 1996: 75). Abu A'la Al-Maududi dalam buku "Khilafah dan Kerajaan" juga mensyaratkan pemimpin harus dari laki-laki (Abul Ala Al-Maududi, 1990: 317). Sedangkan menurut Al-Ghozali persyaratan laki-¬laki bagi seorang kepala negara didukung oleh hadits Nabi: "Para pemimpin harus dari suku Quraisy, mempunya kekuasan nyata (an-najdat), memiliki kemampuan wara' dan berilmu." (Jeje Abdul Rozak, 1999: 173). Barangkali yang dimaksud "memiliki kemampuan" dalam hal ini oleh Al-¬Ghozali ditafsirkan hanya dimiliki oleh laki-laki. Namun sebagaimana memahami hadits tentang syarat kesukuan Quraisy, dalam memahami hadits tentang kepemimpinan perempuan di atas juga harus dilihat latar belakang munculnya hadits tersebut, di samping keberadaan masyarakat pada saat itu. Oleh karena itu dalam memahami dan mengkaji hadits ini mutlak diperlukan informasi yang cukup mengenai latar belakang kejadiannya. Secara historis, latar belakang pernyataan Nabi itu sebenarnya merupakan reaksi Beliau terhadap sikap raja Kirsa (Persia) yang menyobek surat Nabi yang dikirim kepadanya secara emosional. la menolak dakwah Nabi tersebut. Mendengar berita itu kemudian Nabi bersabda sebagaimana hadits di atas. Wanita yang dimaksud dalam hadits tersebut adalah Buran Bintu Sirawaih lbn Kisra lbn Barwais yang berambisi menjadi raja menggantikan ayahnya (Kisah selengkapnya lihat Aunur Rofiq, "Kepemimpinan Wanita, Sebuah Wacana Dalam Teks Islam", IDEA edisi 15/V/2001, hal. 15). Setelah kita memahami betul "asbab al-wurud" hadits di atas, maka kata kata Nabi yang bernada menyudutkan dan mendiskriminasikan perempuan tersebut dapat dipahami. Demikian juga dapat dipahami dari sudut pandang keberadaan masyarakat pada saat itu, yakni kenyataan mengenai kedudukan wanita pada saat itu yang tidak atau belum memungkinkan untuk memimpin sebuah negara. Sehinggga juga amat wajar apabila Nabi berpendapat bahwa seorang wanita tidak akan mampu untuk memimpin negara -walaupun Nabi saw mengetahui bahwa jauh sebelum itu telah ada suatu masa di mana seorang wanita dapat memangku jabatan sebagai kepala negara, seperti Ratu Bilqis yang diceritakan oleh al-Qur'an. Dalam hal ini harus diingat bahwa sabda Nabi saw dalam masalah ini bukan dalam kapasitas beliau sebagai seorang Nabi dan Rasul yang pembicaraanya pasti benar dan dibimbing oleh wahyu, tetapi diucapkannya dalam kapasitas beliau sebagai manusia biasa yang terbatas pada pengetahuan dan pengalaman serta keberadaanya pada waktu itu. Pemahaman seperti ini didasarkan pada sebuah riwayat: "Ketiku Aku perintahkan kepadamu sesuatu tentang agamamu, maka ikutilah, tetapi jika aku perintahkan sesuatu dari pendapatku maka ketahuilah bahwa sesungguhnva mungkin salah sehinggga tidak wajib diikuti." (Muhibbin, 1996:77). Dengan demikian hadits tentang pernyataan Nabi dalam menanggapi pengangkatan putri Kisra sebagai pemimpin Persi tersebut sama sekali tidak membicarakan syarat kepala negara, namun hanya merupakan informasi mengenai pendapat Nabi yang boleh jadi merupakan do'a agar pimpinan negeri Persia tersebut tidak sukses dan jaya karena menghina dan memusuhi Islam, sebagaimana sikap dan tindakan yang pernah Beliau tunjukkan pada saat menerima kabar tentang disobeknya surat Beliau. Di samping itu kalau hadits tersebut dipahami sebagai pesan dan ketentuan dari Nabi mengenai syarat kepala negara, maka akan terasa janggal, karena peristiwa yang ditunjukkan pada hadits tersebut tidak terjadi di dunia Islam. Tidak mungkin Nabi menentukan suatu syarat bagi kepala negara muslim dengan merujuk pada fakta yang terjadi di negara non-muslim. Dan kalau hadits tersebut dipaksakan sebagai syarat bagi kepala negara, di samping tidak rasional –karena Nabi mengintervensi urusan politik negara non-muslim, juga tidak faktual. Artinya penetapan syarat kepala negara harus laki-laki, dan kalau tidak demikian maka negara tidak sukses, ternyata bertentangan dengan fakta yang ada. Negara-negara seperti Inggris, Pakistan, India, dan lain-lain pernah dipimpin oleh seorang wanita dan ternyata meraih kesuksesan. Bahkan dalam al-Qur'an pun dikisahkan tentang adanya wanita yang memimpin negara dan sukses, yaitu Ratu Bilgis di negeri Saba' (Ibid., hal.78). Ayat yang mengisahkan hal tersebut adalah: "Sesungguhnya Aku (Hud-hud) menjumpai seorang wanita (Ratu Bilqis) yang memerintahkan mereka (rakyat Saba') dan dia dianugerahi segala sesuutu sertu mempunyai singgasana yang besar." (QS. An-Naml: 23). Sementara itu dalam menanggapi hadits di atas, Prof. Dr. Nasruddin Baidan berpendapat bahwa terjemahan sebagaimana dikemukakan di atas dapat menimbulkan anggapan negatif terhadap hadis Nabi, sebab dapat memberikan pemahaman yang kontradiktif antara hadits Nabi di satu pihak dengan realitas kehidupan umat manusia di pihak lain (Nasruddin Baidan, 1999: 40). Dr. Nasruddin Baidan dalam memahami hadits tentang kepemimpinan wanita di atas lebih menggunakan pendekatan teks (lafal) bukan "ashab al-wurud". Lafal yang dipakai pada hadits itu adalah lafal umum, tidak membicarakan secara khusus tentang kepala negara. Kata "imro'ah" dan "qaum" dalam hadits itu adalah lafal "nakirah". Itu berarti lafal "qaum" dan "mar'ah" tersebut berkonotasi umum, yaitu kaum wanita siapa saja dan di mana saja, tidak tertentu untuk orang Persia saja. Demikian pula kata "amrahum" dalam hadis itu, juga berkonotasi umum, tidak khusus tentang urusan pemerintahan, tapi mencakup semua urusan yang berhubungan dengan bangsa atau orang yang dipimpin. Keumuman ini tampak dari pemakaian lafal "mufrad" (tunggal): "amrun", yang diidhofahkan kepada lafal sesudahnya, "hum". Menurut kaidah, kata tunggal bila diidhafahkan kepada "isim ma'rifat", maka ia mengandung konotasi umum (Ibid., hal. 41) Setelah memperhatikan kaidah itu kemudian diterapkan pada hadits Nabi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud Nabi "Suatu bangsa tak pernah memperoleh kesuksesan jika semua urusan bungsa itu diserahkan (sepenuhnya kebijakan) wanita sendiri (tanpa melibatkun kaum pria)", ialah jika semua urusan pemerintahan itu ditangani oleh wanita sendiri, sehingga semua bidang dan bagian di dalamnya diurus oleh wanita dan tak ada laki-laki yang diikutsertakan di dalam semua urusan tersebut. Jika demikian halnya, maka masuk akal sekali jika mereka tidak akan beruntung karena kaum wanita memang mempunyai keterbatasan manusiawi, baik secara fisik maupun psikis.
Hak-Hak Perempuan Dalam Politik
Salah satu ayat yang seringkali dikemukakan oleh para pemikir Islam dalam kaitannya dengan hak-hak politik perempuan adalah yang tertera dalam surat At-Taubah ayat 71 (M. Quraish Shihab, 1998: 273): "Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka adalah auliya' bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh untuk mengerjakan yang ma'ruf, mencegah yang munkar, mendirikan shalat, menunaikun zakat dan mereka taat kepada Allah dan Rasulnya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Bijaksana." Secara umum ayat tersebut dipahami sebagai gambaran tentang kewajiban melakukan kerjasama antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai bidang kehidupan yang dilukiskan dengan kalimat menyuruh mengerjakan yang ma''ruf dan mencegah yang munkar. Kata "auliya'” dalam pengertiannya mencakup kerjasama, bantuan dan penguasaan, sedang pengertian yang dikandung oleh "menyuruh mengerjakan yang ma'ruf" mencakup segala segi kehidupan atau perbaikan kehidupan, termasuk memberikan kritik kepada penguasa. Dengan demikian setiap laki-laki dan perempuan hendaknya mampu mengikuti perkembangan masyarakat agar masing-masing mereka mampu melihat dan memberi saran (nasihat) dalam berbagai bidang kehidupan (Ibid.). Keikutsertaan perempuan bersama dengan laki-laki dalam kandungan ayat di atas tidak dapat disangkal, sebagaimana pula tidak dapat dipisahkan kepentingan perempuan dari kandungan sabda Nabi saw: "Barang siapa yang tidak memperhatikan kepentingan (urusun) kaum muslim, maka tidak termasuk golongan mereka." Di sisi lain, al-Qur'an mengajak umatnya (laki-laki dan perempuan) untuk bermusyawarah sebagaimana ayat al-Qur'an: "Urusan mereka (selalu) diputuskun dengan musyawarah." (QS. 42:38). Ayat ini dijadikan pula sebagai dasar oleh banyak ulama untuk membuktikan adanya hak berpolitik bagi setiap laki-laki dan perempuan. Syura (musyawarah) telah menjadi satu prinsip pengelolaan bidang-bidang kehidupan bersama menurut al-Qur'an, termasuk kehidupan politik, dalam arti setiap warga masyarakat dalam kehidupan bersamanya dituntut untuk senantiasa mengadakan musyawarah. Atas dasar ini, dapat dikatakan bahwa setiap laki-laki maupun perempuan memiliki hak tersebut, karena tidak ditemukan satu ketentuan agama pun yang dapat dipahami sebagai melarang keterlibatan perempuan dalam bidang kehidupan bermasyarakat, termasuk dalam bidang politik. Bahkan sebaliknya, sejarah Islam menunjukkan betapa kaum perempuan terlibat dalam berbagai bidang kehidupan tanpa terkecuali. Kenyataan sejarah menunjukkan sekian banyak perempuan yang banyak terlibat pada persoalan politik praktis. Ummu Hani' misalnya, dibenarkan sikapnya oleh Rasulullah saw ketika memberi jaminan keamanan kepada sebagian orang musyrik (jaminan keamanan merupakan salah satu aspek bidang politik). Bahkan istri Nabi Muhammad saw sendiri yakni Aisyah r.a. memimpin langsung peperangan melawan Ali bin Abi Tholib yang ketika itu menjabat kepala negara. Dan isu terbesar dalam peperangan tersebut adalah suksesi setelah terbunuhnya khalifah Ustman. Peperangan ini dikenal dalam sejarah Islam dengan nama perang Jamal (656 M). Keterlibatan Aisyah bersama sekian banyak sahabat Nabi dan kepemimpinannya dalam perang itu menunjukkan bahwa beliau bersama pengikutnya memperbolehkan keterlibatan perempuan dalam politik praktis sekalipun.
Islam Mengajarkan Kesetaraan
Al-Qur'an dan Hadits sebagai rujukan prinsip masyarakat Islam pada dasarnya mengakui bahwa kedudukan laki-laki dan perempuan adalah sama. Keduanya diciptakan dari satu "nafs" ("living entity"), di mana yang satu tidak memiliki keunggulan terhadap yang lain. Bahkan al-Qur'an tidak menjelaskan dengan tegas bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Nabi Adam sehingga kedudukan dan statusnya lebih rendah. Atas dasar itu, prinsip al-Qur'an terhadap kaum laki-laki dan perempuan adalah sama. Dengan kata lain, laki-laki memiliki hak dan kewajiban terhadap kaum perempuan dan sebaliknya perempuan juga memiliki hak dan kewajiban terhadap laki-laki. Aspek lain yang memperlihatkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam Islam adalah tanggung jawab sosial terhadap masyarakat. Secara sosiologis, manusia merupakan makhluk bermasyarakat. Untuk itu baik muslim maupun muslimah, keduanya merupakan unsur masyarakat untuk membangun "civil society". Dalam kaitannya dengan peran politik perempuan, kita dapat berkesimpulan bahwa tidak ditemukan satu ketentuan agama pun yang dapat dipahami sebagai larangan keterlibatan perempuan dalam kancah politik, atau ketentuan agama yang membatasi bidang tersebut hanya untuk kaum laki-laki. Di sisi lain, justru cukup banyak ayat dan hadits yang dapat dijadikan dasar penetapan adanya hak-hak tersebut. Menyangkut argumentasi normatif, sudah sangat jelas bahwa penolakan kepemimpinan perempuan bukanlah satu-satunya pendapat dalam hukum Islam. Dengan melihat "ashab al-wurud" hadits dan "ashab al-nuzul" ayat al-Qur'an tentang kepemimpinan perempuan seperti telah dielaborasi oleh mufassir kontemporer Prof. Dr. M. Quraish Shihab, disimpulkan bahwa kepemimpian perempuan tidak dipersoalkan oleh Islam, sebab dasar pijakannya bukan pada perbedaan gender melainkan lebih pada potensi intelektual dan psikologis. Jadi selama memiliki potensi kepemimpinan, tak ada halangan tampilnya wanita sebagai pemimpin negara (M. Quraish Shihab, op.cit, 314). Dalam kaitan ini Ibn Taimiyah mensyaratkan kepala negara adalah orang yang mempunyai kualifikasi kekuatan ("al-quwwat") dan integritas ("al-amanah"). Pendapat ini didasarkan pada firman Allah SWT dalam surat al-Qashash ayat 26: "orang yang paling baik untuk bekerja adalah orang yang kuat lagi dipercaya" (Jeje Abdul Rozak, loc.cit.). Dengan demikian yang berbicara dalam hal ini bukan lagi soal perbedaan jenis kelamin, melainkan profesionalitas, integritas pribadi dan kecakapan serta jiwa leadership. Sejauh orang perempuan tersebut memiliki kredibilitas, kapasilitas, akuntabilitas, dan akseptabilitas yang memadai tidak ada persoalan ia menjadi pemimpin politik. Memang, tidak dapat kita pungkiri bahwa perempuan banyak menemui kendala ketika memegang posisi penting dalam sektor publik. Adanya kodrat alamiah perempuan, dari hamil, melahirkan, menyusui dan lain-lain adalah fenomena yang tidak dapat disangkal. Tetapi bukan berarti peran publik perempuan menjadi terbatas atau bahkan hilang karena faktor-faktor tersebut. Sisi lain, jika kita mau jujur, keterbelakangan dan ketertinggalan perempuan juga tidak luput dari "kesalahan" mereka sendiri. Dengan kata lain, jika sistem sudah memberikan kesempatan yang sama kepada laki-laki dan perempuan, maka jika wanita tidak mampu bersaing dan kalah yang perlu disalahkan adalah kaum perempuan itu sendiri. Hal ini sesuai dengan pendapat feminisme liberal (Mansour Fakih, 1997: 82). Itulah sebabnya usulan mereka (feminisme liberal) untuk memecahkan masalah kaum perempuan adalah dengan cara menyiapkan kaum perempuan agar bisa bersaing dengan dalam dunia yang penuh dengan persaingan bebas. Sebagian dari usaha ini dapat dilihat, misalnya, dalam program-program semacam "Women in Development" (Perempuan dalam Pembangunan), sehingga perempuan dapat ikut berpartisipasi aktif dalam kancah publik, termasuk dalam dunia politik. [Caswiyono Rusydi]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar